“pulanglah nak, bapak kangen” bolak balik ku membaca sms dari bapak yang di kirimnya kemarin.
Pulang
Kata itulah yang selalu membuat hatiku membeku. Merasa asing dan hambar ketika kembali menginjakkan kaki di rumah itu. berat rasanya mengayunkan langkah meniti setiap jengkal di rumah penuh kenangan itu.
“bunda, barang-barang yang akan di bawa besok sudah disiapkan semua?” tanya firman, suamiku.
“ sudah yah”, jawabku
“ cepatlah istirahat, besok pagi-pagi kita berangkat, jaga kandunganmu “ sahut suamiku.
----
Perjalanan darat wonosobo – madiun akan sangat menguras energiku yang sedang berbadan dua ini. Tapi, aku sangat menikmati di sepanjang perjalanan ini. Merajut kembali kenangan bersama ibu, arkan dan bapak. Aaah, bapak, benarkah aku merindukannya? Sosok yang telah menoreh sayatan dalam di hatiku. Tapi, sejujurnya aku memang merindukan sosok tenang, sabar dan penyayang itu.
Tiiiin tiiiin
Mas firman membunyikan klakson. Aaah, ternyata sudah di depan rumah. Di madiun, tanah kelahiranku, tempat aku tumbuh, menghabiskan masa kecil.
“ eeeh, nak freya pulang “ sambut mbok jumi, yang telah mengabdi selama 30 tahun disini, semenjak ibu dan bapak baru menikah dulu.
“ iya mbok, freya kangen… Arkan mana mbok?” sahutku
“ nak arkan masih sekolah, ada les katanya. Sudah kelas 3 begini sering pulang sore “ jawab simbok
“ hai freya, sudah nyampe kamu “ sapa bu nida
“ yaa,..” jawabku sekenanya
Bu nida adalah istri baru bapak. Bu Nida dulu adalah teman dekat ibu. Mereka sama-sama menjadi pengurus di panti asuhan Amanah.
“istirahatlah dulu di kamar, bapak sedang tidur” kata bu Nida
Aku hanya mampu menganggukkan kepala tanpa bisa berkata-kata
Mataku tak dapat terpejam barang sedetikpun, padahal badan ini terasa capek. Ku putuskan untuk menengok bapak yang sedang tidur di kamarnya. Perlahan ku masuk kamar bapak, aku tak ingin menganggunya. Ku pandang wajah teduh dalam tidurnya. Sudah banyak goresan keriput disana sini. Wajah itu kian layu, entah sudah berapa aku tak melihat wajah bapak sedekat ini. tanpa terasa, butiran hangat meluncur perlahan di kedua pipiku. Aku rindu bapak, sangat rindu, tapi selama ini, rasa benciku membuatku tak kuasa mengakuinya.
“nduk, kamu sudah pulang?” suara lembut bapak mengagetkanku
“iya pak, bapak sehat?” jawabku
“yah, seperti inilah keadaan bapak, bapak kangen kamu nduk,…”sahut bapak terbata-bata
“freya juga kangen bapak” jawabku sambil terus menangis. Entah kenapa perasaan bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dadaku.
Selanjutnya, kami hanya mampu bersapa lewat mata, tanpa kata. Hanya sentuhan lembut bapak yang kian menenangkanku, membuat rasa bersalahku kian menghujam relung hati.
---
Tanah itu masih basah. Sebasah air mataku yang terus mengalir. Menyesali semuanya, yaaah, semuanya. Maafkan freya bapak, maafkan freya bu Nida. Aku yang begitu membenci bu Nida karena merasa telah merebut perhatian bapak dan telah melupakan ibu. Tapi ternyata bu Nidalah yang selama ini dengan sabar merawat bapak dan merahasiakan penyakit bapak dariku dan arkan.
Selepas ujian akhir nasional, Arkan kuliah di jogja, dan sesekali pulang ke rumahku di Wonosobo. Hanya dia keluarga yang kumiliki sekarang. Rumah di Madiun di biarkan kosong, bu Nida kembali ke rumah lamanya.
Semoga Bapak dan Ibu bahagia Disana. Sesal pun tak akan mengembalikan semuanya,…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H