Dalam sebulan terakhir, kita menyaksikan serangkaian aksi yang semakin memicu kekhawatiran seperti Iran menembak jatuh drone pengintai milik AS di kawasan perairan Selat Hormuz.Â
Belum lama berselang, terjadi serangan rudal yang menghantam fasilitas minyak Arab Saudi yang kemudian dituduhkan kepada Iran oleh pemerintahan Trump meski pihak Tehran membantah keras tuduhan tersebut.Â
Eskalasi kemudian berlanjut ketika pesawat pengintai AS ditembak jatuh di wilayah perbatasan Iran yang nyaris memicu balasan serangan militer besar-besaran dari Angkatan Udara AS yang sudah dipersiapkan.
Belum lagi serangkaian insiden penembakan dan pembajakan kapal tanker di perairan Teluk yang juga disebut-sebut sebagai upaya Iran membalas sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh AS sejak keputusan kontroversial Trump untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2018 lalu.Â
Tensi memuncak setelah Presiden Trump pada akhirnya membatalkan rencana serangan balasan dengan alasan tidak proporsional karena dapat memicu korban jiwa dalam jumlah besar.Â
Namun sikap tegas AS tetap diperlihatkan dengan mengirim ribuan pasukan tambahan dan persenjataan ke kawasan Teluk, membangun narasi permusuhan yang kian meningkat seiring memanasnya suhu konflik.Â
Dari sisi Iran, negara itu didorong bergerak ofensif dengan menunjukkan aksi-aksi penggertak sebagai reaksi dari tekanan ekonomi akibat sanksi minyak AS pasca-keluarnya Washington dari kesepakatan nuklir pada 2018 lalu.Â
Kebijakan tekanan maksimum yang diterapkan Washington untuk mencekik ekonomi Iran memang terbukti telah membuat Tehran tak punya banyak pilihan selain menunjukkan aksitangannya untuk menggertak balik dan membalas dengan berbagai cara.
Sikap asertif dan berani mati Iran dalam menghadapi tekanan AS ini didukung oleh kepercayaan mereka sebagai kekuatan adidaya di kawasan Teluk serta pengaruh kuat faksi konservatif di tubuh pemerintahan yang senantiasa menentang upaya diplomasi dengan pihak asing.Â
Faksi konservatif yang menguasai banyak sektor kekuasaan di Iran inilah yang mendukung dan mengedepankan pendekatan tindakan ofensif untuk membenruk wibawa dan daya tahan Iran dalam menghadapi tekanan AS.
Di kubu AS, rezim Trump berusaha merevisi kebijakan luar negerinya menjadi lebih konfrontatif terhadap Iran. Pemerintahan Trump secara terbuka menuduh Iran sebagai negara yang mendestabilisasi kawasan dan mengancam kepentingan utama AS serta negara-negara sekutu dekatnya seperti Arab Saudi dan Israel.