Kampung Pitu, sebuah desa yang hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga ini berlokasi di Kabupaten Gunung Kidul. Terletak di sisi timur gunung api purba Nglanggeran atau yang dulu dikenal sebagai Gunung Wayang, dan sejak tahun 2015 desa yang dikenal dengan sebutan Kampung Pitu ini diresmikan sebagai destinasi wisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun ada jalan yang sudah dibuat dengan bantuan pemerintah, untuk sampai ke desa ini harus melewati jalan dengan medan yang cukup berat. Akses jalan tanah berbatu dan bukit-bukit yang rawan longsor masih ada di beberapa kawasan.
Kondisi geografis alam berbukit dengan luas wilayah 7 hektar yang terdiri dari pekarangan, bangunan, serta sawah berpengaruh pada pola pemukiman masyarakatnya, rumah-rumah warga saling berjauhan dan berpencar sesuai dengan kepemilikan tanahnya. Adanya Kampung Pitu tidak lepas dari kisah ditemukannya  pohon Kinah Gadung Wulung, konon didalam pohon tersebut terdapat pusaka berkekuatan besar.Â
Jaman dahulu abdi dalem keraton mengadakan sayembara bagi siapa saja yang mampu menjaga pohon kinah gadung wulung nanti akan diberi tanah tempat tinggal untuk seluruh keturunannya. Eyang Iro Kromo, keturunannya yang menghuni Kampung Pitu hingga saat ini dan tidak lebih dari tujuh kepala keluarga. Beliau adalah orang yang berhasil menjaga pohon kinah gadung wulung, sampai akhirnya setelah beberapa tahun pohon pusaka tersebut tidak diketahui keberadaanya.
Sejak saat itu, banyak orang memiliki ilmu yang bertujuan untuk mencari benda pusaka yang diisyaratkan oleh abdi keraton. Namun banyak yang meninggal dan hanya tujuh orang saja yang sanggup bertahan hidup. Diantara tujuh orang tersebut, dua diantaranya menikah dan dari keturunan mereka yang sudah menikah harus menaati adat istiadat, yakni hanya tujuh kepala keluarga yang boleh hidup menempati desa tersebut.
Awal mulanya, desa yang kini disebut Kampung Pitu ini bernama Tlogo Guyangan. Hal ini dikarenakan adanya telaga atau sumber air yang menurut para sesepuh dulunya digunakan untuk memandikan kuda sembrani yang merupakan kuda ghaib tunggangan para bidadari. Setiap kuda yang dimandikan meninggalkan jejak kaki di bukit dekat telaga tersebut. Dulunya, para abdi dalem keraton sering mengambil tapak kaki tersebut dengan doa tertentu atau mantra. Namun kini Tlogo Guyangan tertutup lumpur, oleh warga Kampung Pitu kini dimanfaatkan sebagai area persawahan dan sumber air yang berada di samping telaga digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan irigasi sawah.
Tujuh kepala keluarga yang hingga kini menempati Kampung Pitu, merupakan generasi kelima Eyang Iro Kromo dan Eyang Tir. Rumah yang berada di desa tersebut berjumlah sembilan bangunan, namun hanya tujuh rumah saja yang dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Untuk keturunan selanjutnya yang menikah dan ingin tetap tinggal di desa tersebut, seorang keturunan harus menunggu satu dari tujuh keluarga yang meninggal atau pindah ke daerah lain. Jika adat istiadat ini tidak ditaati, masyarakat percaya akan terjadi hal buruk yang menimpa salah satu keluarga di Kampung Pitu. Dari mulai sakit-sakitan, keretakan rumah tangga, hingga meninggalnya salah satu anggota keluarga.
Mayoritas pekerjaan masyarakat di Kampung Pitu pada umumnya adalah bertani, berternak dan membuat arang. Warga berusaha bersahabat dengan alam sambil menjaga dengan baik nilai-nilai dari para leluhur. Dulunya kondisi Kampung Pitu sangat sulit dijangkau, listrik pun baru bisa dirasakan tahun 2015. Masyarakat menjadi terasing, kondisi sulit sempat membuat belanja kebutuhan sehari-hari hingga ke daerah lain yang jaraknya cukup jauh.
Sekarang masyarakat Kampung Pitu sudah mengalami perubahan dan sudah mengenal teknologi. Hal tersebut terlihat dari rumah yang dulunya dari bambu, sekarang sudah berbentuk permanen. Bagi masyarakat Kampung Pitu menjaga budaya leluhur menjadi hal yang paling utama dalam hidup mereka, hal ini terlihat dari masyarakat yang masih melakukan ritual di Tlogo Guyangan. Ritual ini dimaksudkan untuk mengirim doa memohon keselamatan dan kehidupan yang lebih baik, selain itu Tlogo juga digunakan untuk melaksanakan kebudayaan Tayub, yakni tarian yang dilakukan didekat Tlogo Guyangan saat perayaan Rasulan. Perayaan ini merupakan bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Banyak yang dilakukan masyarakat Kampung Pitu agar tetap hidup selaras dengan alam, warga Kampung Pitu sebenarnya khawatir jika semakin banyak orang yang berniat tinggal di Kampung Pitu dapat mengakibatkan lunturnya budaya yang mereka jaga selama ini. Adanya tradisi dan segala keunikan yang dimiliki menumbuhkan kepercayaan bahwa apa yang mereka jalankan selama ini akan mampu mempertahankan keasrian dan keaslian, menjaga sinergi dengan alam, serta kelangsungan Kampung Pitu.
Adanya Kampung Pitu, membuat kita sebagai masyarakat dapat mengetahui berbagai keunikan dan mengenal Indonesia lebih dalam dengan cara menjaga, melestarikan, serta menjalankan budaya yang ada. Kesadaran masyarakat serta peran pemerintah sangatlah penting agar kelestarian budaya dapat dipertahankan dan menjadi sektor wisata budaya menarik untuk waktu yang akan datang sebagai aset negara yang bernilai tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H