Di era digital yang semakin maju, literasi digital telah menjadi keterampilan esensial yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan teknis dalam menggunakan perangkat dan aplikasi, tetapi juga melibatkan pemahaman yang mendalam tentang cara mengakses, mengevaluasi, dan menyebarkan informasi secara efektif. Jadi, pentingnya literasi digital tidak bisa dianggap remeh atau gampangan, terutama oleh para generasi muda.
Masyarakat indonesia terutama para gen z membutuhkan perhatian, bimbingan dan pendampingan, karena mereka sangat mudah menerima atau mengikuti konten konten ke arah negatif terutama di media sosial, yang dapat merubah cara befikir mereka. Hal ini menjadikan literasi digital itu sangat dibutuhkan untuk memberikan arahan bagi para pengguna internet, khususnya pengguna media sosial. Gilster (dalam Maulana, 2015: 3) mengartikan literasi digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam banyak format dari berbagai sumber ketika itu disajikan di komputer (Pratiwi & Pritanova, 2017).
Menurut  Brian  tahun  2015  dalam jurnal yang ditulis oleh Maulana(Maulana, 2015) ada 10 manfaat literasi digital yaitu pertama, menghemat  waktu. Kedua,  belajar  lebih  cepat.  Ketiga, menghemat uang. Keempat, membuat lebih aman. Kelima, selalu memperoleh informasi terkini.  Keenam,  selalu  terhubung.  Ketujuh,  membuat  keputusan  yang  lebih  baik. Kedelapan,  dapat  membuat  seseorang  bekerja.  Kesembilan,  membuat  lebih  bahagia. Kesepuluh, mempengaruhi  dunia.
Meskipun literasi digital memiliki segudang manfaat, ada berbagai tantangan menghadang, salah satu tantangan terbesar dari literasi digital adalah kesenjangan akses. Tidak semua orang memiliki akses  atau kesempatan yang sama terhadap dunia teknologi dan internet. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam kemampuan sosial dan ekonomi literasi digital. Selanjutnya adalah kurangnya pendidikan formal, banyak sekolah yang masih kurang memfasilitasi dalam mengajarkan keterampilan literasi digital kepada siswa. Ini menunjukkan bahwa perlunya kurikulum yang lebih relevan mengenai literasi digital. Tantangan lainnya datang dari isu privasi dan keamanan digital. Banyaknya pencurian data, penyebaran berita bohong, dan kejahatan lainnya menuntut kewaspadaan dalam melindungi diri di dunia maya.
EshetAlkalai dan Aviram dan Eshet-Alkalai mengembangkan model konseptual literasi digital yang terdiri dari enam keterampilan : a)Photo-visual literacy adalah kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan lingkungan digital, seperti antarmuka pengguna, yang menggunakan komunikasi grafis. b) Reproduction literacy adalah kemampuan untuk menciptakan karya tulis dan seni yang otentik, bermakna, dengan mereproduksi dan memanipulasi teks, visual, dan audio digital yang sudah ada sebelumnya. c) Branching literacy adalah kemampuan untuk membangun pengetahuan dengan navigasi nonlinier melalui domain pengetahuan, seperti di Internet dan lingkungan hypermedia lainnya. d) Information literacy adalah kemampuan untuk mengkonsumsi informasi secara kritis dan memilah informasi yang salah dan bias. e) Socioemotional literacy adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dalam platformkomunikasi online seperti kelompok diskusi dan ruang obrolan. f) Real-time thinking skill adalah adalah kemampuan untuk memproses dan mengevaluasi sejumlah besar informasi secara waktu nyata, seperti dalam permainan komputer dan ruang obrolan.
Mengatasi tantangan-tantangan ini membutuhkan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, dan masyarakat. Meningkatkan akses terhadap teknologi dan internet, menyediakan program edukasi literasi digital yang inklusif, dan membangun kesadaran akan pentingnya keamanan digital merupakan langkah penting dalam mewujudkan masyarakat yang sadar akan digital dan agar generasi mendatang siap menghadapi tantangan global dengan percaya diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H