Ketika mendengar nama suatu daerah, apa yang pertama kali terlintas di pikiran kita mengenai daerah tersebut? Citra sebenarnya dapat terbentuk dari sekumpulan keyakinan, ide, impresi, yang didapatkan seseorang mengenai daerah tersebut. Hal-hal yang kita ketahui tanpa mengunjungi daerah tersebut sebelumnya melalui pemerhati publik, pembuat opini, dan kalangan intelektual dapat memberikan citra daerah tersebut pada diri kita. Namun, hal tersebut bukan berarti kita tidak memiliki citra berdasarkan pemikiran kita sendiri mengenai daerah tersebut.Â
Citra suatu kota yang terbentuk melalui tulisan-tulisan yang telah dipublikasikan bisa saja akan berbeda di mata seseorang setelah benar-benar berkunjung ke kota tersebut, tergantung dengan bagaimana pengalaman yang dialaminya selama waktu singgah yang dihabiskan.
Citra suatu daerah dapat dikomunikasikan dan dibentuk setidaknya melalui tiga strategi, yakni slogan dan tema, simbol visual, dan event dan sponsorship.Â
Suatu event yang diadakan di suatu kota dapat menjadi sarana image communication yang efektif untuk memengaruhi publikasi mengenai kota tersebut sehingga akan membangun citra kota.Â
Semakin sering suatu kota melakukan upaya dalam bentuk membangun city branding, disertai dengan dukungan masyarakat setempat yang sangat berpengaruh, maka semakin berhasil citra suatu kota itu disebarluaskan secara tepat.
Kajian tentang citra (image) mendapatkan perhatian besar karena merupakan prasyarat dasar untuk membangun hubungan komersil dengan berbagai macam kelompok target. Akar konsep citra berasal dari dunia marketing; awalnya dari level produk kemudian diperluas pada level korporat.Â
Citra terbangun melalui sejumlah kesan yang dialami oleh indivisu, baik melalui interaksi langsung maupun tidak langsung terhadap objek tersebut. Dalam hal ini, citra kota dapat dengan mudah diketahui oleh masyarakat melalui opini publik yang dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja.
Menurut Budiharjo (1991), terdapat enam tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian, dan pengembangan citra kota. Keenam tolok ukur tersebut meliputi nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan (gedung proklamasi, tugu pahlawan) mupun sjarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, kawasan Malioboro di Yogyakarta), nilai arsitektur lokal/tradisional (terdapat keraton, rumah pangeran), nilai arkeologis (candi-candi, benteng), nilai religiusitas masjig besar, tempat ibadah lain), nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial , ekonomi, maupun sosial budaya, serta nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.
Pernyataan tersebut berbeda dengan pendapat Lynch (dalam Purwanto, 2001) yang menyatakan bahwa citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan adat istiadat, serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh besar dalam penampilan (performance) fisiknya.
Sumber: Rahmanto, Andre. 2020. City Branding: Strategi Komunikasi dalam Memasarkan Potensi Daerah. Malang: Intrans Publishing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H