Saya akan menceritakan pengalaman yang paling berkesan pada masa SMA. Saat SMA saya memilih untuk melanjutkan pendidikan disalah satu pondok pesantren di kota tempat tinggal saya. Dulu saya bukan orang yang mudah untuk bersosialisasi, mungkin hampir 6 bulan tinggal di pondok belum mendapatkan teman, dan lebih memilih untuk menyendiri, meskipun terkadang teman-teman sekamar sering mengajak untuk melakukan kegiatan bersama.
      5 bulan pertama merupakan masa-masa yang sulit, mulai dari membiasakan diri untuk bangun dan mandi lebih pagi karena takut kehabisan air, belajar tahsin hampir dua bulan, hafalan saya yang masih tertinggal dari teman-teman karena tahsin yang belum selesai, berusaha membagi waktu untuk belajar kurikulum dengan jurusan ipa serta al qur'an, dan yang terakhir mencari teman untuk diajak berdiskusi menurut saya itu merupakan hal yang sulit.
      Setelah lima bulan ujian semester diadakan mulai dari ujian kurikulum dan ujian tahfidz, ujian tahfidz merupakan ujian yang paling menegangkan karena sistemnya, maju per-orang, di tes oleh empat guru/ustadzah kemudian disaksikan oleh semua sastri yang akan mengikuti ujian juga.Â
Ujian tahfidz berlangsung selama 4 hari, dan ujian kurikulum selama seminggu. Satu bulan sebelum ujian karena bacaan qur'an saya sudah mulai bagus, maka diperkenankan untuk menghafal, jadi waktu itu saat ujian meskipun cuma menghafal beberapa surat dari juz 30 setidaknya saya mempunyai hafalan. Perpulangan tiba selama dua minggu kita pulang kerumah masing-masing, waktu itu liburan merupakan hal yang menyenangkan, karena akhirnya  bisa bebas dari pondok untuk beberapa saat itu.
      2 bulan setelah perpulangan bencana covid melanda dunia, sehingga kita seluruh satri diwajibkan pulang ke rumah, dari yang awalnya hanya 2 minggu menjadi hampir setengah tahun. Awalnya terasa menyenangkan melakukan segala hal hanya dari rumah, tetapi setelah satu bulan mulai memuakkan. Mengerjakan tugas yang tidak ada habisnya setiap minggu, penjelasan guru yang kurang dipahami, hafalan al-qur'an yang awalnya mempunyai target per-semester 3 juz juga tidak tercapai, dan hanya bisa menggunakan goggle sebagai bantuan untuk menjawab jawaban dari tugas.
      Ujian kenaikan kelas dilakukan melalui online, pada saat itu saya tidak memikirkan nilai bagus tapi lebih mengharapkan mendapatkan nilai yang cukup untuk naik kelas. Setelah 2 minggu ujian selesai, kami mendapatkan pengumuman untuk kembali ke pondok dengan syarat harus melakukan swab dan meniadakan menjenguk santri selama dipondok.Â
Walaupun di rumah memukkan tetapi balik ke pondok jauh lebih menyeramkan karena saya masih belum memiliki teman dan sempat mengatakan kepada orang tua untuk pindah sekolah, untung pada saat itu orang tua saya tidak langsung menyetujui dan memberi nasehat terlebih dahulu. Lalu apa yang terjadi pada saya setelah balik ke pondok? Ternyata tidak semenakutkan itu, Â balik ke pondok bukan hal yang menakutkan karena banyak pengalaman-pengalaman berkesan yang akan saya dapatkan.
      2 minggu pertama kami diisolasi terlebih dahulu, dengan mengikuti protokol kesehatan, tidak diperbolehkan berkumpul, makan berbarengan, dan berdekatan saat di luar ruangan. Pada saat kembali kekamar karena tanpa pengawasan kami melanggar, melakukan permainan-permainan yang menyenangkan dan pada saat itu saya mulai berbaur kepada teman-teman.Â
Setelah di isolasi kami mulai melanjutkan kembali kegiatan asrama, belajar serta  menghafal al-Qu'an. Salah satu kegiatan asrama adalah shalat 5 waktu secara berjamaah dan setiap selesai sholat kami tidak langsung kembali e kamar masing-masing tetapi melanjutkan dengan menghafal al-qur'an, dzikir pagi dan sore, murojaah, dan ceramah  7 menit secara bergantiian.
      Pada saat itu saya bukan orang yang percaya diri, pada saat smp selalu menghindari untuk melakukan pertunjukkan apapun kecuali bersama-sama. Pada hari itu giliran saya untuk ceramah tujuh menit, saya sudah mempersiapkannya selama seminggu tetapi kepercayaan diri itu masih belum didapatkan. Saat saya tampil saya berdiam diri dulu selama satu menit lebih mungkin, sebenarnya waktu itu saya juga membawa catatan untuk pembahasan yang akan di tampilkan, tetapi untuk melihatnya saja saya tidak bisa karena  sudah bergetar ingin menangis dan gugup. Saya memiliki teman-teman yang peka dan baik, mereka tahu saya sedang demam panggung lalu beberapa kali memberikan semangat juga menyuruh saya untuk membaca saja, mereka memaklumi hal tersebut.