Apakah kamu pernah merasa lelah sepanjang hari tetapi tetap memilih untuk menunda tidur hanya demi menikmati waktu untuk diri sendiri? Jika iya, kamu mungkin mengalami revenge bedtime procrastination.Â
Apa Itu Revenge Bedtime Procrastination?
Istilah ini sempat populer di media sosial Tiongkok dengan frasa "bofxng oy" (revenge staying up late). Konsepnya seperti "balas dendam" terhadap rutinitas harian yang padat, di mana seseorang mengorbankan waktu tidur untuk melakukan aktivitas santai, seperti menonton, bermain media sosial, atau membaca buku. Fenomena ini sering dikaitkan dengan tuntutan gaya hidup modern, terutama pada individu dengan pekerjaan yang menyita waktu. Akibatnya, waktu tidur menjadi "korban" demi mendapatkan waktu untuk kegiatan pribadi.
Meskipun sekilas tampak sebagai cara untuk mencari kebahagiaan, kebiasaan ini justru memiliki konsekuensi negatif, terutama pada kesehatan fisik dan mental. Kekurangan tidur secara terus menerus dapat menyebabkan gangguan ritme sirkadian, yang berperan dalam pengaturan jam biologis tubuh. Ritme sirkadian adalah pola tidur dan bangun yang berulang setiap 24 jam dan merupakan bagian dari jam internal tubuh. Tidur yang tidak cukup dapat mempengaruhi fungsi kognitif, termasuk kemampuan untuk fokus, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan (Walker, 2017). Kurang tidur juga dapat memicu atau memperburuk kondisi seperti stres, kecemasan, dan depresi (Leone & Sigman, 2020).Â
Penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan obesitas (Zhang et al., 2019). Kurang tidur dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, yang merupakan salah satu faktor utama risiko penyakit jantung. Selama tidur, tubuh seharusnya menurunkan tekanan darah dan detak jantung untuk memberikan waktu istirahat bagi sistem kardiovaskular. Namun, jika tidur terganggu atau terlalu singkat, proses ini tidak berjalan optimal, yang dapat memperburuk kondisi seperti hipertensi, aterosklerosis, dan penyakit jantung koroner. Selain itu, kurang tidur juga memengaruhi kemampuan tubuh dalam mengatur gula darah (glukosa). Penurunan kualitas tidur dapat mengganggu fungsi insulin serta hormon yang membantu mengontrol kadar gula darah. Akibatnya, risiko resistensi insulin meningkat. Hal ini merupakan tahap awal dari diabetes tipe 2.
Ada beberapa faktor yang mendorong fenomena ini terjadi, seperti tekanan pekerjaan dan tuntutan hidup, adiksi teknologi, dan budaya FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan anak muda. Kesibukan di tempat kerja sering kali hanya menyisakan sedikit waktu luang di siang hari, sehingga individu merasa perlu meluangkan waktu pribadi di malam hari. Kemajuan teknologi juga membuat kita lebih mudah terpaku pada ponsel atau perangkat elektronik sebelum tidur, yang akhirnya mengurangi waktu tidur berkualitas. Selain itu, gaya hidup modern sering kali menempatkan produktivitas di atas kesehatan, membuat tidur dianggap sebagai "kemewahan".
Daftar Pustaka
- Krittanawong, C., et al. (2019). Association between short and long sleep durations and cardiovascular outcomes: A systematic review and meta-analysis. European Heart Journal, 40(1), 116-120.
- Leone, M. J., & Sigman, M. (2020). Effects of sleep deprivation on the academic performance of adolescents: A systematic review and meta-analysis. Sleep Medicine Clinics, 15(1), 45-57.
- Walker, M. (2017). Why We Sleep: Unlocking the Power of Sleep and Dreams. Scribner.
- Zhang, J., et al. (2019). Sleep deprivation and its association with health problems: A systematic review. Journal of Clinical Sleep Medicine, 15(3), 335-343.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H