Mudahnya ngasih label "marah-marah", tanpa lihat konteksnya.
MASIH ingat dalam kenangan saya, bulan November 2023. Video beredar memperlihatkan Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita), Wali Kota Semarang, sedang inspeksi ke Muktiharjo Lor dan Muktiharjo Kidul. Permukiman warga tergenang banjir.
Rumor yang beredar kemudian, terutama yang di-roasting orang-orang yang ingin nge-hit lewat viewer, menceritakan apa yang terlihat. Media juga sering menyajikan "kekerasan simbolik" dengan mengatakan bahwa Mbak Ita "..marah-marah..". Judul seperti itu, tentang pemilihan kata. Tidak mungkin dalam judul terdapat deskripsi panjang, akhirnya, kata "marah" atau "marah-marah" dijadikan judul berita dan caption video.
Lebih penting melihat, konteks di balik adegan di video. Agar kita tidak dengan mudah memberi atribut "pemarah" kepada Mbak Ita.
Saya juga melihat video Mbak Ita ketika bicara tentang UMKM, stunting, dan prestasi anak muda di Kota Semarang. Mbak Ita bukan tipikal orang yang pemarah.
Hanya ketika ada sesuatu yang ia harus tegas dan menegakkan disiplin, Mbak Ita akan marah.
Mbak Ita hanya akan marah kepada petugas, pegawai, yang sudah dapat kewajiban untuk orang banyak, sudah dapat peraturan, "ditugaskan", dapat jadwal, serta mendapat beberapa kali teguran, ternyata masih lalai.
Lihatlah apa yang terjadi di media sosial. Begitu mudahnya orang berkomentar, hanya melihat apa yang terlihat, tanpa memperhatikan konteks di balik suatu berita dan video.
Bagaimana pekerjaan untuk menyelesaikan masalah di Kota Semarang, bisa gagal, hanya karena satu petugas atau satu bagian yang lalai.
Singkatnya, lihatlah konteks dan bayangkan akibat jangka panjang jika suatu masalah tidak teratasi. Siapa yang akan kena marah publik? Tentu pimpinan, Wali Kota Semarang, yang paling kena marah. Siapa yang paling rugi? Tentu warga Kota Semarang.