Mohon tunggu...
Salsabilla Faiqah
Salsabilla Faiqah Mohon Tunggu... Mahasiswa - 22107030002_UIN Sunan Kalijaga

A dreamer who love travel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Ua Pua Sebagai Media Dakwah Masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat

1 Maret 2023   10:01 Diperbarui: 1 Maret 2023   10:08 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Mbojo Network

Dalam menyiarkan agama Islam, tentu banyak cara yang dilakukan oleh para ulama agar masyarakat atau kelompok tertentu mau menerima atau bahkan minimal mendengarkan apa yang diserukan oleh para penyiar agama. Dari sejumlah cara yang telah dilakukan ada respon positif yang diterima oleh penyiar agama dari masyarakat. Akan tetapi, tak jarang pula dari beberapa cara yang telah dilakukan justru menerima respon negatif bahkan penolakan dari masyarakat.

Para ulama pun mencoba mencari media atau alternatif lain dalam menyebarkan agama Islam agar tidak terkesan monoton bila hanya dengan duduk melingkar, berbicara, dan mendengar. Oleh para penyiar agama Islam pada masa kesultanan Bima, mereka mencoba melakukan dakwah dengan menggunakan media kesenian seeprti yang dilakukan oleh salah satu Walisongo yaitu Sunan Kalijaga. Dimana mereka menggunakan tarian serta musik yang dimasukkan unsur-unsur Islam kedalamnya sebagai media dakwah penyebaran agama Islam pada saat itu.


Pada masa kesultanan Bima terdapat tiga hari besar yang dilakukan oleh masyarakat Bima tiap tahunnya. Oleh masyarakat Bima sendiri tiga hari besar tersebut dinamakan Upacara U'a Pua yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara ini biasanya dimulai pada tanggal 15 Rabiul Awwal 1071 H (19 November 1660) yang diprakarsai oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang merupakan Sultan kedua kerajaan Bima pada saat itu.


Perayaan U'a Pua merupakan media dakwah dalam menyiarkan agama Islam yang dilakukan oleh para Mubalig yang berasal dari Minangkabau. Mubalig-mubalig tersebut tinggal di pesisir pantai Ule, sebuah wilayah yang berada di Bima. Disitulah masyarakat menggelar upacara U'a Pua. Rangkaian upacara berlangsung selama sepekan, terhitung mulai pada tanggal 7 Rabiul Awwal dan puncak acaranya pada tanggal 15 di bulan yang sama.


Adapun acaranya berupa pergelaran kesenian yang berasal dari seluruh pelosok Bima. Sehari sebelum acara puncak, pada sore hari diadakan pacuan kuda khas Bima yang terkadang Joki kuda akan membonceng wanita. Sedangkan pada malam harinya bertepatan dengan 14 Rabiul Awwal, digelar acara tari-tarian khas Bima seperti tari Lenggo Melayu, Manca Melayu, dan Para Naka yang bertempat di rumah penghulu Melayu. Acara ini disebut Roko U'a Pua.


Sedangkan di Istana Bima, pada saat yang sama diselenggarakan Tari Bunga Bareka (meracik bunga Rampai) yang dilakukan oleh Bumi Ro Ncawu (korps tukang kerajaan) sambil diiringi dengan membaca kitab berjanji dan diiringi pula oleh rebana Mbojo (Ziki Tua dan Ziki Mbojo dalam bahasa Bima). Ziki Tua ini dilakukan oleh Dari Ngaji (korps petugas keagamaan).


Pada tanggal 15 Rabiul Awwal yang merupakan puncak acara, diperdengarkan alunan-alunan music seperti tambur La Macan, Gendang Mbojo dan disuguhkan dengan tari-tarian Lenggo Mbojo dan Anangguru Mpaa Siwe (tarian yang semula dimainkan oleh perwira perang yang bergelar Anangguru Sere, tetapi sekarang dimainkan oleh penari perempuan) yang diangkut dengan Pabule (sejenis tandu) ke rumah penghulu Melayu.


Saat yang ditentukan di rumah penghulu tersebut terdapat Uma Kalei (rumah mini yang diusung). Di dalam rumah yang diusung terdapat 4 penari Lenggo yang sengaja dinaikkan di atas. Rumah Kalei itu diusung secara bergantian. Jumlah orang yang mengangkatnya sebanyak 44 orang. Peletusan bedil pun dimulai dan pada saat yang ditentukan letusan-letusan selanjutnya dimaksudkan sebagai tanda bahwa Rato (pimpinan rombongan) siap menghadap Sultan. Kemudian pasukan kuda bermunculan dengan gerak kaki yang indah serta gerak yang meliuk-liuk dari kuda-kuda yang dilibatkan dalam perayaan tersebut.


Sekarang ini, tradisi upacara U'a Pua mulai ditinggalkan. Mengingat perkembangan dunia yang semakin dinamis membuat masyarakat dengan mudah menerima ajaran atau penyiaran nilai-nilai keagamaan khususnya Islam melalui media-media teknologi yang semakin hari semakin pesat. Akan tetapi, nilai-nilai luhur serta budaya dari U'a Pua seperti tarian, musik, serta dzikir yang telah diajarkan masih terus dipraktikkan serta dikembangkan dalam tradisi Islam lainnya. Misalnya dalam upacara Pernikahan, Khitanan, Khatam Al-Qur'an serta pengajian. Tujuannya pun sudah jelas agar keberadaannya tetap terjaga dan dilestarikan terus-menerus dari generasi ke generasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun