Salsabila Suci Wibowo, PMI 4A, 221380013, Mahasiswi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.Â
Indonesia sebagai negara agraria seharusnya lebih dekat memandang ekofeminisme karena hal ini berkenaan dengan mata pencaharian masyarakat yang banyak mengandalkan alam sebagai usaha dalam memenuhi kebutuhannya.
Ekofeminisme merupakan salah satu cabang dari gerakan feminisme gelombang ketiga yang berbicara tentang hubungan antara perempuan dan lingkungan sebagai dasar analisis dan praktiknya. Ekofeminisme sendiri berasal dari penggabungan kata ekologi dan feminisme. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh seorang tokoh feminis asal perancis Francoise d’Eaubonne pada tahun 1974. Apabila dijabarkan, ekologi merupakan sebuah kajian yang menaruh perhatian kepada keterkaitan antara kehidupan manusia dan lingkungannya, sedangkan feminisme sendiri adalah gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Perempuan dan alam memiliki kesamaan sebagai sumber penghidupan karena kemampuannya dalam mereproduksi kehidupan.
Berbicara tentang ekofeminisme berarti kita berbicara tentang ketidakadilan yang diterima alam dan perempuan akibat dari konstruksi budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. Pembangunan di banyak negara telah menjadikan alam dan perempuan sebagai korban dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah. Misalnya adalah kemiskinan. Kemiskinan dapat menimbulkan dampak pada kesehatan perempuan dan juga rawannya kekerasan pada perempuan. Oleh Karenanya, pembangunan suatu negara harus didasari oleh pertimbangan pada kondisi generasi mendatang. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan juga diharapkan mampu merepresentasikan peran dan kepentingan kaum perempuan. Berangkat dari hal tersebut, tentunya perempuan memiliki peran yang besar dalam penjagaan lingkungan. Meskipun begitu, bukan berarti perempuan menjadi satu-satunya pihak yang memiliki tanggung jawab atas hal tersebut. Baik laki-laki dan perempuan, tentunya memiliki kewajiban yang sama dalam merawat dan melestarikan lingkungan. Karena ekofeminisme merupakan sebuah gerakan sosial (social movement), maka perubahan ini harus dijalankan bersama-sama oleh semua elemen masyarakat.
Lantas, upaya apa yang dapat dilakukan untuk menggerakkan ekofeminisme? beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu pertama, adalah memberikan edukasi tentang lingkungan hidup. Edukasi menjadi dasar dari sebuah gerakan. Tanpa adanya pengetahuan, kita tidak akan bisa memahami hakikat sebuah perjuangan.
Dalam membangun paradigma ekofeminisme hendaknya didefinisikan sebagai perjuangan untuk mengembalikan  penghormatan terhadap alam dan perempuan. Nilai-nilai feminitas juga sudah seharusnya menjadi kekuatan moral dalam pemecahan masalah ekologis. Ketiga adalah pembentukan watak hukum yang kuat. Sebelum dirumuskan, sebuah aturan hukum kiranya perlu diwacanakan secara rasional dan demokratis agar dapat memberikan keadilan pada seluruh lapisan masyarakat.  Yang keempat adalah penerapan sistem 3R atau reuse (penggunaan Kembali), reduce (mengurangi,) dan recycle (daur ulang). Meskipun tindakan sederhana, penerapan sistem ini dapat memberikan dampak yang signifikan dalam mengatasi permasalahan sampah.
Pada akhirnya, ekofeminisme bukanlah suatu gerakan yang menolak adanya pembangunan. Namun ekofeminisme berusaha memberikan pemahaman bahwa segala aktivitas manusia termasuk pembangunan harus didasari atas wawasan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Apabila nilai-nilai feminitas terus diasah dan diasuh dalam dunia pendidikan yang kemudian diakomodasikan dalam sistem hukum dan kebijakan  politik, maka kesetaraan gender dan kelestarian lingkungan akan dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H