Mohon tunggu...
Salsabila Shafa Muradi Amma
Salsabila Shafa Muradi Amma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Mahasiswa dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta jurusan S1 Keperawatan angkatan 2023, yang sedang mengembangkan diri lewat organisasi Himpunan Mahasiswa Program Sarjana Studi Ilmu Keperawatan UPNVJ”. Memiliki ketertarikan terhadap public speaking dan design digital.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Studi Komparatif, Efektivitas Terapi Kognitif-Perilaku versus Terapi Farmakologis dalam Mengatasi Gangguan Kecemasan

16 September 2024   00:03 Diperbarui: 17 September 2024   07:59 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental adalah kondisi kesejahteraan di mana seseorang menyadari potensi dirinya, mampu mengatasi tekanan hidup secara efektif, serta dapat beradaptasi dengan baik. Tidak semua orang dapat mengelola stres dengan baik, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan merupakan masalah kesehatan mental yang sering terjadi dan bisa berdampak signifikan pada kualitas hidup seseorang. Selain itu, kesehatan mental juga ditandai dengan kemampuan untuk bekerja produktif dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat.

Berbagai metode terapi telah dikembangkan untuk menangani gangguan ini, dengan terapi kognitif perilaku (CBT) dan terapi obat-obatan menjadi dua pendekatan utama yang sering diterapkan. Terapi kognitif perilaku berfokus pada perubahan pola pikir dan perilaku yang tidak sehat, serta terbukti efektif dalam membantu pasien memahami dan mengatasi perasaan tidak nyaman mereka. Di sisi lain, terapi farmakologis menggunakan obat-obatan untuk mengurangi gejala kecemasan melalui mekanisme biokimia dalam otak.

Meskipun kedua metode ini memiliki dasar ilmiah yang kuat, terdapat perbedaan yang signifikan dalam cara kerjanya, efektifitasnya, dan dampak jangka panjangnya. Oleh karena itu, penting untuk melakukan studi perbandingan guna menilai sejauh mana kedua terapi ini berhasil dalam menangani gangguan kecemasan. Studi ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas terapi kognitif perilaku dan terapi farmakologis dalam mengurangi gejala kecemasan, serta menelaah kelebihan dan kekurangan masing-masing pendekatan. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, diharapkan dapat ditemukan strategi perawatan yang lebih efektif dan sisesuaikan untuk mengelola gangguan kecemasan.

Terapi kognitif perilaku (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) adalah pendekatan psikoterapi yang berfokus pada mengubah pola pikir dan perilaku yang dianggap berkontribusi pada munculnya atau memburuknya gejala kecemasan. Tujuan terapi ini adalah membantu individu mengenali dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang tidak adaptif yang dapat memperburuk kecemasan, sehingga dapat mengurangi gejala dan meningkatkan kesejahteraan emosional dan sosial. Pendekatan CBT dalam mengobati gangguan kecemasan meliputi pengenalan pikiran negatif, modifikasi pola pikir, penggunaan teknik desensitisasi sistematis, pengajaran keterampilan pengelolaan kecemasan, serta membantu individu mengubah perilaku yang memicu kecemasan.

Teknik-teknik CBT dalam penanganan gangguan kecemasan meliputi eksposur, di mana individu secara bertahap dan terkontrol dihadapkan pada ketakutan mereka untuk membantu mereka beradaptasi. Selain itu, teknik pemantauan pikiran digunakan untuk mencatat pikiran negatif, membantu individu mengenali pola pikir yang muncul saat cemas. Menulis jurnal atau rekam catatan tentang pengalaman kecemasan juga membantu individu memantau perubahan gejala kecemasan dan pemicunya dari waktu ke waktu. Teknik permainan peran sering digunakan untuk melatih individu menghadapi situasi sosial atau konflik yang memicu kecemasan, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik. Teknik relaksasi, seperti pernapasan dalam dan meditasi, diajarkan untuk membantu individu mengatasi kecemasan dan ketegangan fisik. CBT telah terbukti efektif dalam pengobatan gangguan kecemasan karena bersifat berbasis tujuan, didukung oleh bukti ilmiah, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu. Penggunaan CBT memberikan harapan bagi individu untuk mengelola kecemasan dan secara signifikan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Terapi farmakologis melibatkan penggunaan obat-obatan yang dirancang untuk mengurangi gejala kecemasan dengan memperngaruhi neurotransmitter di otak. Obat-obatan ini umumnya dipakau untuk meredakan gejala secara cepat dan efektif, dengan berbagai jenis obat, seperti antidepresan dan anxiolitik, yang dipilih berdasarkan tipe dan tingkat keparahan gangguan kecemasan.

Antidepresan dikenal mampu memperbaiki suasana hati yang tertekan, memulihkan gangguan kognitif dan fungsional, serta mendukung kesejahteraan jangka panjang. Menurut studi oleh Purwandityo, Febrianti, Sari, Ningrum, dan Sugiyarto (2018), skizofrenia, yang terdiri dari dua jenis : generasi pertama (tipikal) dan generasi kedua (atipikal). Skizofrenia sendiri adalah gangguan jiwa kronis yang ditandai dengan gejala positif, negatif, dan gangguan afek (Sovitriana & Psi, 2019). Dalam beberapa studi, terapi utama bagi pasien skizofrenia adalah kombinasi antisepsikotik dan antidepresan. Kombinasi ini tidak hanya membantu mengobati gejala positif dan negatif, tetapi juga meningkatkan fungsi kualitas hidup pasien (Saputri, Sulistiyawati, & Untari, 2019). Namun, kombinasi antidepresan berpotensi menimbulkan interaksi obat yang bisa membawa keuntungan atau kerugian bagi pasien. Hal ini mendorong penelitian lebih lanjut mengenai potensi interaksi obat antidepresan pada pasien skizofrenia atau gangguan kecemasan lainnya.

Dalam studi komparatif mengenai efektivitas terapi kognitif perilaku (CBT) dan terapi farmakologis, untuk menangani gangguan kecemasan, analisis menunjukkan bahwa kedua metode memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing. CBT memberikan manfaat jangka panjang dengan mengajarkan individu keterampilan menghadapi stres dan mengubah pola pikir negatif, yang dapat menghasilkan perbaikan berkelanjutan dan menurunkan risiko kambuh. Namun, efektivitas CBT sering bergantung pada komitmen waktu dan keterlibatan aktif dari pasien.

Oleh karena itu, pemilihan jenis terapi harus mempertimbangkan faktor-faktor individu, seperti preferensi pasien, kondisi kesehatan secara keseluruhan, dan kebutuhan spesifik dari gangguan kecemasan yang dialami. Kesimpulan ini memberikan panduan penting bagi para profesional kesehatan mental dalam merancang rencana perawatan yang efektif dan berkelanjutan untuk pasien yang mengalami gangguan kecemasan.


Referensi
Salim, W. P., Hutahaean, Y. O., & Sihotang, F. A. (2021). Pengaruh SSRIs Untuk Meningkatkan Independensi Fungsional Pada Pasien Depresi Pasca Stroke. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 3(3), 529–537. https://doi.org/10.25026/jsk.v3i3.280

Saragih, S. A. (2023). Terapi Kognitif Perilaku dalam Pengobatan Gangguan Kecemasan. Literacy Notes, 1(2), 1–10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun