Seorang anak kecil menangis sesenggukan akibat tindakan kasar temannya. Sebagai orang tua bukannya tidak mau untuk menegur atau mengingatkan, masalahnya orang tua itu tidak bernyali menghadapi ayah dari teman anaknya yang bandel tersebut. Demi menutupi rasa kesal dan malu, orang tua justru memarahi anaknya sebagai penakut. Penderitaan anak yang menjadi korban bullying teman kian bertambah karena menjadi sasaram amarah orang tuanya yang melakukan 'blaming the victim'.
Menyalahkan korban
Banyak sikap paradoks di alam semesta ini diantaranya blaming the victim atau menyalahkan korban. Demi menyelamatkan diri dari tirani maka jiwa-jiwa pengecut mengambil sikap munafik menjilat penindasan menyalahkan para korban yang lemah. Kebenaran tidak lagi ditimbang berdasarkan norma-norma melainkan berdasarkan siapa yang paling kuat.
Orang-orang yang menyalahkan korban ini tipikal manusia pinggiran. Nah apa maksudnya posisi orang itu selalu di pinggir punya saja mereka tidak pernah benar-benar berada di lingkaran dalam masalah dan tidak pula di luarnya. Jika ada perjuangan menegakkan kebenaran yang tidak masuk ke dalam gelanggang tapi tidak pula menjauh.Â
Dia berada di pinggir pinggir saja membantu perkembangan situasi. Stok itu persilangan melawan tirani menunjukkan tanda-tanda kemenangan orang macam ini langsung terjun ke tengah gelanggang paling keras dari akarnya seolah-olah mereka lah tujuan sejati. Namun jika yang terjadi kekalahan yang segera berbalik arah mengambil muka kepada tirani dan menyalahkan bahkan ikut menjadi my para korban.
Sikap menyalahkan korban ini justru memperpanjang sejarah kekerasan seolah-olah menjadi pembenaran bahwa pihak yang lemah atau korban memang mereka pantas terzalimi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, mengapa? karena bisa saja lambat laun korban merasa dirinya memang pantas dianiaya.
Contohnya pada kasus anak korban bullying karena orang tua tidak menolong bahkan menyalahkan dirinya. Nah, lambat laun anak itu menganggap wajar perlakuan kekerasan teman-temannya. Begitu pula karyawan yang dizalimi atasan, hingga akhirnya dia melakukan perlawanan terhadap kezaliman atasan.
Perjuangan harga diri itu menjadi tuba bagi karyaean malang tersebut, bukan saja kalah tapi ia pun dipermalukan. Kepahitannya kian kelat, sebab teman-teman sesama karyawannya bukan malah membantu malah mengecamnya, "Salah kamu sendiri mengapa melawan! Kalau sudah lemah, ya sudah pasrah saja, percuma menghadapinya!".Â
Jika dia terus menerus diperlakukan seperti itu maka boleh jadi kelak dia akan berpandangan bahwa dirinya memang lemah dan pantas untuk disakiti. Lebih parah lagi istri yang suaminya berselingkuh tidak dibela dan karena terus disalahkan, lambat laun bagikan nya bisa terbalik, tinggal berpandangan perselingkuhan suami sebagai kewajaran atas kesalahan dirinya sebagai istri.
Bgaimana karakter blaming the victim dapat diterapi?
1. Meyakini kebenaran sebagai pegangan yang wajib dijaga dan dibela. Jadi kita harus berpegang teguh pada kebenaran. Agar yang bersalah tak selamanya menindas yang benar.
2. Menyalakan energi keberanian tidak takut membela kebenaran apapun resikonya. Problem pelaku blaming the victim merupakan jiwa yang pengecut. Obati kelemahan itu dengan meneguhkan keberanian.
3. Memperbaiki kualitas hidup menjadi seseorang yang tangguh, berpegang teguh pada komitmen kebenaran.
4. Memperkuat keyakinan kepada Allah Yang Maha Agung, hingga kita tidak perlu merasa bergantung dengan manusia yanh mengaku-aku kuat.
Oleh karena itu sebaik mungkin kita harus dapat menghindari kejahatan ini. Karena selain wujud sikap pengecut, menyalahkan korban juga merusak nilai kemanusiaan. Padahal dalam Islam mewajibkan pemeluknya untuk membela kalangan yang tertindas. Lalu bagaimana dengan mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H