Pada kurun waktu 1966-1980, Indonesia berada dalam fase konsolidasi kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Langkah ini diawali dengan pergeseran kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto melalui sidang umum MPRS. Pada sidang MPRS tahun 1967, Soeharto diangkat menjadi Presiden menggantikan Soekarno. Setahun kemudian, pada Maret 1968, ia resmi diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia melalui Sidang Umum MPRS. Pada era ini, penguasaan terhadap media massa menjadi salah satu strategi utama pemerintah Orde Baru untuk menyebarkan propaganda. Media massa, baik cetak maupun elektronik, digunakan untuk mendukung stabilitas politik dan pembangunan ekonomi sesuai Orde Baru. Pemerintah mengontrol pers, memastikan pesan-pesan politik mereka diterima oleh masyarakat luas tanpa perlawanan.
Pers memiliki peran penting dalam menjalankan perannya sebagai wujud dari kedaulatan rakyat dengan berlandaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dasar-dasar ini tercantum dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan SK Dewan Pers No. 79 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa Pers Nasional berpijak pada enam landasan. Pers juga berperan dalam mengubah budaya masyarakat. Namun, pengaruh besar pers sering dimanfaatkan pemerintah untuk mengontrol situasi, menjadikannya alat untuk mempertahankan kekuasaan, membangun citra, dan memperoleh legitimasi. Perkembangan pers di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Pada masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga sebelum kemerdekaan, pers telah menjadi alat perjuangan.
Pada pemerintahan Orde Baru pers sempat mengalami kebebasan dengan dikeluarkannya TAP MPRS RI No XXXII/MPRS/1966 tentang pembinaan pers memberikan hak pengakuan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran melalui pers. Tap MPRS ini menjadi dasar perumusan UU No 11/1966 yang menyatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakan kebenaran dan keadilan, bukan kebebasan dalam arti liberalisme. Selain itu, TAP MPR ini juga meninggalkan praktik demokrasi terpimpin dan menggantinya dengan demokrasi Pancasila. Perubahan ini disambut baik oleh berbagai kalangan, sehingga lahir istilah Pers Pancasila, yang menggambarkan pers yang bebas namun tetap berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Kebijakan Orde baru mendukung sepenuhnya pers Pancasila untuk berperan kembali dalam masyarakat menyuarakan aspirasi rakyat yang sebelumnya dibungkam oleh Soekarno.
      Pada masa Orde Baru, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi alat utama untuk mengendalikan media massa di Indonesia. SIUPP pertama kali diperkenalkan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur dan mengontrol berbagai media penerbitan. Peraturan ini mewajibkan setiap perusahaan media memiliki izin resmi untuk menerbitkan narasi yang telah dibuat oleh jurnalis. Dalam praktiknya, SIUPP tidak hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga sebagai alat politik yang digunakan pemerintah untuk memastikan kesesuaian media dengan Orde Baru. Melalui mekanisme SIUPP, pemerintah memiliki wewenang untuk mencabut izin media yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara. Pencabutan SIUPP sering kali dilakukan tanpa proses transparan sehingga menciptakan ketakutan dan kebebasan pers. Media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang mengungkapkan praktik korupsi atau menyuarakan opini yang berbeda dari narasi resmi, rentan terhadap pembredelan.
      SIUPP bertujuan untuk membungkam media yang dianggap mengganggu kepentingan pemerintah. Salah satunya adalah pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994. Keputusan ini diambil oleh Menteri Penerangan Harmoko berdasarkan Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994. Media ini dikenal sebagai media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pembredelan ini terjadi setelah Tempo edisi 11 juni 1994 menerbitkan laporan investigasi tentang pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman yang dianggap mengkritik kebijakan pemerintah dan menyinggung pejabat tinggi di lingkaran kekuasaan. Pemerintah mencabut SIUPP dengan alasan ketiga media tersebut dapat membahayakan keamanan nasional. Padahal, laporan-laporan yang diterbitkan media ini sebagai bentuk dari fungsi pers terhadap kekuasaan. Akibat dari pembredelan ini banyak protes dari kalangan jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil yang memandang tindakan tersebut sebagai bentuk represif pemerintah terhadap kebebasan pers. Selain Tempo, kasus pembredelan lainnya terjadi pada harian Indonesia Raya tahun 1974. Surat kabar ini dibredel karena dianggap membuat kerusuhan Malari (Malapetaka 15 Januari) melalui pemberitaan yang kritis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Pembredelan ini juga dilakukan melalui pencabutan SIUPP yang menghentikan surat kabar tersebut secara permanen.
      Pelaksanaan SIUPP sebagai senjata politik memiliki dampak yang sangat besar terhadap media di Indonesia. Pertama, SIUPP menciptakan ketakutan di kalangan media. Banyak jurnalis dan pemilik media merasa terintimidasi oleh ancaman pencabutan izin sehingga memilih untuk melakukan sensor mandiri. Hal ini mengakibatkan berkurangnya berita-berita kritis dan independen dan meningkatnya pemberitaan yang hanya mendukung kebijakan pemerintah. Kedua, melemahkan fungsi media sebagai salah satu pilar demokrasi, media seharusnya berfungsi sebagai pengawas kekuasaan dan menyuarakan kebenaran, termasuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, ancaman SIUPP sering kali membuat media berperan sebagai alat propaganda pemerintah sehingga mengurangi perannya sebagai institusi independen. Ketiga, pencabutan SIUPP sering kali merugikan para pekerja media, dari jurnalis, editor, dan para staf administrasi. Ketika media diberedel, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan tanpa perlindungan hukum. Hal ini berdampak kepada pekerja media yang akhirnya terjadi penurunan kualitas jurnalisme di Indonesia.
      Meskipun pemerintah Orde Baru menggunakan SIUPP sebagai alat untuk menekan media, perlawanan terhadap kebijakan ini tetap ada dari berbagai kalangan. Para jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil terus menyuarakan kebebasan pers sebagai salah satu bagian utama dalam demokrasi. Salah satu perlawanan datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang dibentuk pada 9 agustus1994 setelah pembredelan Tempo, Editor, dan Detik. AJI dibentuk sebagai tanggapan ketidakpuasan terhadap organisasi wartawan yang ada pada saat itu, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dianggap tidak cukup vokal dalam membela kebebasan pers. Perlawanan ini semakin menguat pada akhir tahun 1990 seiring dengan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Gelombang reformasi yang menggulingkan Soeharto tahun 1998 membuka jalan bagi perubahan dalam regulasi media. Salah satunya adalah penghapusan SIUPP sebagai syarat untuk mendirikan media massa. Reformasi ini menandai era baru bagi kebebasan pers di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H