Nama saya Salsabila Putri Dafa dari Prodi Ilmu Komunikasi mengangkat isu dengan tema Pelanggengan Budaya Patriarki dalam Tayangan media. Dalam dunia yang kian kompleks, media massa memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman dan norma sosial (Putri & Setiawan, 2024). Film, sebagai salah satu bentuk media yang paling berpengaruh, tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai alat komunikasi yang dapat mencerminkan dan memengaruhi pandangan masyarakat (Anastasia et al., 2024).Â
Sebagai contoh, film Barbie (2023) mengambil pendekatan yang unik dalam menyampaikan narasi tentang perempuan, identitas, dan kebebasan. Meskipun film ini menampilkan karakter Barbie yang berjuang melawan stereotip dan norma yang mengikat, ada pertanyaan yang lebih dalam mengenai bagaimana film ini dapat turut mempertahankan budaya patriarki yang sudah lama ada.
Budaya patriarki adalah sistem sosial yang mendominasi banyak aspek kehidupan, di mana laki-laki cenderung memegang kekuasaan dan kontrol yang lebih besar dibandingkan perempuan (Fushshilat & Apsari, 2020).Â
Dalam konteks ini, film dapat berfungsi sebagai cermin bagi norma-norma yang ada serta sebagai ruang untuk tantangan dan perubahan (Qibtiyah & Aminuddin, 2024). Film Barbie berusaha untuk menyoroti perjuangan perempuan dalam menghadapi berbagai batasan yang ditetapkan oleh masyarakat, tetapi penting untuk mengevaluasi apakah pesan yang disampaikan benar-benar menciptakan perubahan atau justru mengukuhkan struktur yang sudah ada.
Salah satu aspek yang menarik dari film Barbie adalah bagaimana ia menggambarkan konflik internal karakter utama dalam mencari identitas di tengah tuntutan sosial yang ada. Dalam perjalanan cerita, Barbie menghadapi berbagai tantangan yang menguji kemampuannya untuk mengekspresikan diri dan menemukan kebebasannya.
 Momen-momen ini menggambarkan dengan jelas perjuangan perempuan dalam menavigasi antara harapan masyarakat dan keinginan pribadi, sekaligus membuka diskusi tentang eksistensi dan tujuan perempuan dalam kehidupan modern.
Namun, meskipun Barbie berupaya untuk memberdayakan perempuan, terdapat argumen bahwa film ini juga dapat memperkuat norma patriarki yang telah ada. Dengan menampilkan perempuan yang berjuang melawan stereotip sambil tetap berada dalam kerangka cerita yang didominasi oleh nilai-nilai tradisional, film ini bisa jadi hanya menawarkan solusi sementara tanpa benar-benar mengubah struktur sosial yang mendasarinya. Hal ini menciptakan dilema yang perlu diperhatikan oleh penonton dalam menilai bagaimana media membentuk pemahaman tentang gender.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana film Barbie berkontribusi pada pelanggengan budaya patriarki sekaligus berupaya untuk memberdayakan perempuan, serta dampaknya terhadap pemirsa. Dalam analisis ini, kita akan mempertimbangkan berbagai elemen yang ada dalam film, seperti karakter, plot, dan representasi gender. Dengan cara ini, kita dapat mengeksplorasi bagaimana narasi yang dibangun oleh film ini berinteraksi dengan norma-norma sosial yang ada.
Lebih jauh lagi, penting untuk melihat bagaimana film ini diterima oleh masyarakat dan apakah pesan-pesan yang disampaikan benar-benar dapat menginspirasi perubahan atau justru memperkuat pandangan yang sudah ada. Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik dan persepsi terhadap gender, dan film Barbie tidak terkecuali. Oleh karena itu, penting bagi penonton untuk kritis dalam menyerap pesan-pesan yang disampaikan oleh film ini.
Dengan mempertimbangkan pengaruh film Barbie dalam konteks yang lebih luas, kita dapat lebih memahami dinamika antara media, norma sosial, dan perjuangan perempuan di era modern. Melalui pemahaman ini, diharapkan penonton dapat menyadari bahwa memberdayakan perempuan bukan hanya soal menggambarkan perempuan yang kuat, tetapi juga mengubah struktur sosial yang mendasari norma-norma patriarki yang masih ada dalam masyarakat.
Film Barbie menyajikan gambaran kehidupan Barbie di Barbie Land, sebuah dunia ideal di mana perempuan tampak memiliki kekuatan dan kepercayaan diri yang tinggi. Namun, seiring dengan perkembangan cerita, Barbie mulai mengalami krisis eksistensial dan merasakan ketidakpuasan dengan kehidupannya yang tampak sempurna.