Mohon tunggu...
Salsabila Nur Widyaningrum
Salsabila Nur Widyaningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pedang Bermata Ganda Bernama Algoritma Kebangsaan

14 November 2024   21:58 Diperbarui: 14 November 2024   22:09 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era transformasi digital yang serbapesat, munculnya algoritma kebangsaan yang telah mengubah cara pemerintah berinteraksi dengan warga negara, mengelola data, dan membuat keputusan kebijakan. "Algoritma kebangsaan" mengacu pada pendekatan sistematis yang digerakkan oleh algoritma yang digunakan pemerintah untuk mengatur, memproses, dan bertindak berdasarkan kumpulan data yang luas mengenai layanan publik, perilaku warga negara, dan alokasi sumber daya. Algoritma ini, yang tertanam dalam infrastruktur pemerintah, memiliki potensi yang sangat besar untuk menyederhanakan proses administratif, meningkatkan pengambilan keputusan, dan memastikan tata kelola yang digerakkan oleh data. Namun, adopsi algoritma ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang pengawasan, privasi, dan erosi kebebasan individu.

Peran Algoritma dalam Tata Kelola Modern

Algoritma dalam tata kelola dimaksudkan untuk memberikan konsistensi, efisiensi, dan ketidakberpihakan dalam pengambilan keputusan. Di negara-negara seperti Tiongkok, Sistem Kredit Sosial menggunakan pemrosesan data algoritmik untuk menetapkan "skor" kepada warga negara berdasarkan perilaku finansial dan sosial mereka, yang memengaruhi akses ke layanan (Chen & Cheung, 2021). Sementara itu, sistem Aadhaar India, program identifikasi nasional berbasis biometrik, berupaya meningkatkan akses ke layanan pemerintah dengan memverifikasi identitas warga negara secara digital (Banerjee, 2020). Contoh-contoh ini mencerminkan kegunaan algoritma kebangsaan dalam mendorong efisiensi dan transparansi layanan publik.

Keuntungan utama algoritma kebangsaan adalah potensinya untuk memfasilitasi pengambilan keputusan secara real-time. Pemerintah dapat merespons perubahan sosial dan ekonomi dengan cepat, mengandalkan wawasan data daripada penundaan birokrasi. Namun, sistem data terpusat juga dapat membuat negara lebih rentan terhadap pelanggaran data, yang membahayakan informasi sensitif warga negara. Studi terbaru menunjukkan bahwa meskipun kepercayaan publik terhadap sistem berbasis algoritma dapat meningkatkan penerimaan, kekhawatiran tentang perlindungan data tetap signifikan (Ouyang, 2020).

Implikasi Ekonomi Algoritma kebangsaan

Algoritma kebangsaan menawarkan keuntungan ekonomi, khususnya dalam alokasi sumber daya, distribusi kesejahteraan, dan perencanaan ekonomi. Secara teori, kebijakan berbasis data dapat meningkatkan pengelolaan sumber daya publik, seperti dalam kasus penggunaan pembelajaran mesin (machine learning) di Finlandia untuk menyederhanakan alokasi dukungan kesejahteraan (Kotamraju, 2021). Namun, penggunaan algoritma juga mengandung risiko, terutama di pasar tenaga kerja. Otomatisasi yang didorong oleh algoritma kebangsaan dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan di industri-industri yang tugasnya dapat digantikan oleh AI, sehingga menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi.

Ekonom Frey (2021) berpendapat bahwa meskipun algoritma meningkatkan produktivitas, algoritma juga dapat memolarisasi pasar kerja, mengurangi permintaan untuk tenaga kerja berketerampilan rendah dan berkontribusi pada ketimpangan pendapatan. Kompromi ekonomi antara efisiensi dan lapangan kerja ini menimbulkan tantangan bagi para pembuat kebijakan, yang harus menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan kesejahteraan sosial.

Dampak pada Kebebasan dan Agensi Individu

Algoritma kebangsaan dapat memberikan pengaruh yang halus namun kuat pada perilaku individu. Dengan menanamkan algoritma ke dalam sistem sosial, pemerintah dapat mendorong warga negara untuk berperilaku tertentu, secara halus mengarahkan tindakan mereka ke arah perilaku "baik" yang ditentukan oleh negara. Teori pemerintahan Foucault (1977) menunjukkan bahwa bentuk kontrol ini dapat membatasi kebebasan individu dengan menetapkan norma-norma yang secara tidak sadar diadopsi oleh warga negara. Misalnya, Sistem Kredit Sosial Tiongkok memberi insentif pada perilaku seperti pembayaran pinjaman tepat waktu dan perilaku sosial yang sah, yang secara efektif mendorong warga negara untuk berperilaku sesuai dengan cita-cita yang disetujui negara (Creemers, 2018).

Pembatasan implisit terhadap kebebasan individu ini menimbulkan kekhawatiran tentang peran algoritme kebangsaan dalam membentuk agensi pribadi. Warga negara mungkin merasa terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan norma yang ditegakkan secara algoritmik, sehingga kehilangan sebagian pilihan pribadi dalam prosesnya. Etika sistem semacam itu masih kontroversial, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa sistem tersebut mendorong terciptanya masyarakat yang lebih aman, sementara pihak lain memperingatkan terhadap penyimpangan otoriter yang dimungkinkan oleh pengawasan algoritmik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun