Mohon tunggu...
Hana Salsabila
Hana Salsabila Mohon Tunggu... -

Accounting 2013.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Diintip" Ditjen Pajak, Haruskah Pengguna Kartu Kredit Khawatir?

21 Mei 2016   17:42 Diperbarui: 15 Juni 2016   16:06 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gembar-gembor mengenai Peraturan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mewajibkan seluruh bank yang mengeluarkan kartu kredit melaporkan data dan transaksi kartu kredit nasabahnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mendapat respon negatif dari para pemilik kartu. Sebagian besar keberatan jika Ditjen Pajak mengintip data dan transaksi kartu kreditnya. Mereka merasa aneh dan bertanya-tanya karena selama ini pengguna kartu kredit telah dikenakan pajak pertambahan nilai (PPn) dalam setiap transaksinya lalu untuk apa sebenarnya dikeluarkan peraturan semacam itu?

Saat ini dalam PMK Nomor 39 Tahun 2016, ada 23 bank yang diwajibkan menyerahkan data transaksi nasabah kartu kredit, paling sedikit memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu. Data lainnya, meliputi NIK/Nomor paspor pemilik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi nilai transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi, serta pagu kredit. Data bersumber dari Billing Statement. Data transaksi kartu kredit nasabah tersebut pertama kali disampaikan paling lambat akhir bulan Mei 2016 ini.

Sejak peraturan tersebut dikeluarkan, permintaan atas kartu kredit di beberapa bank mulai menurun dan tak sedikit pengguna menutup kartu kreditnya. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa dengan mengintip data transaksi kartu kredit, Ditjen Pajak akan mampu melacak daftar kekayaan nasabah tanpa izin sehingga dianggap melanggar UU Perbankan. Selain itu, adanya rasa khawatir dengan ancaman kejahatan cyber berupa pembocoran data ke pihak luar juga menjadi alasan penolakan terhadap peraturan tersebut.

Yang perlu diluruskan di sini, sebetulnya kartu kredit bukanlah bagian dari kerahasiaan perbankan sehingga sah-sah saja apabila peraturan tersebut digulirkan. Cara yang dilakukan ini merupakan alternatif Ditjen Pajak untuk mendapatkan data dari perbankan tanpa harus melanggar Undang-Undang (UU) Perbankan yang tujuannya untuk memperkaya basis data Unit Eselon I Kementerian Keuangan dalam mengejar target penerimaan pajak.

Pengguna kartu kredit sebenarnya tak perlu resah karena maksud pemerintah mewajibkan bank menyerahkan data kartu kredit nasabah bukan untuk membatasi jumlah transaksi konsumsi atau belanja nasabah bank melainkan untuk mencocokkan antara profile belanja pada kartu kredit yang dimiliki seseorang dengan profile pajaknya, karena Ditjen Pajak tidak punya akses ke rekening simpanan bank sesuai UU Perbankan.

Sebagai gambaran, misalnya seseorang melaporkan pendapatan Rp 5 juta di Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh). Tapi kemudian ketika dilihat profile belanja bisa mencapai Rp20 juta per bulan. Artinya SPT yang selama ini dilaporkan harus diperbaiki, itu berarti menyampaikan pendapatannya terlalu kecil saat laporan SPT.

Mengenai kerahasiaan, para pengguna juga tak perlu khawatir karena Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menjamin kerahasiaan ihwal data nasabah pemilik kartu kredit yang dilaporkan bank setiap bulan karena kewajiban menjaga kerahasiaan data merupakan amanat Undang Undang Pajak yang tidak boleh dilanggar. Apabila ini terjadi, maka pengguna dapat menuntut.

Praktik mengintip data seperti ini sudah menjadi best practice di beberapa negara, namun dengan cara pendekatan yang berbeda-beda. Jadi, untuk para kompasianer yang menggunakan kartu kredit tidak perlu khawatir apabila transaksi-transaksi yang Anda lakukan tidak ada unsur pidana. Malah kita seharusnya mendukung Ditjen Pajak karena dengan mengintip data di kartu kredit maka perhitungan pajak akan lebih objektif. Atau kalau mau lebih nyaman, mungkin bisa beralih ke kartu debit, lebih keren juga kan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun