Mohon tunggu...
Salsabila Azahra
Salsabila Azahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia

Menikmati perjalanan ke seluruh dunia melalui buku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resahnya Emha Ainun Nadjib Menjadi Puisi

16 Juni 2023   22:51 Diperbarui: 16 Juni 2023   22:55 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelarangan penggunaan jilbab pada sekitar akhir tahun 1980 menjadi buah bibir yang sangat populer di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Saat itu, pemerintahan Orde Baru melarang penggunaan jilbab bagi pelajar perempuan di lingkungan sekolah. Penggunaan jilbab secara masif dilarang di sekolah-sekolah negeri, pelajar perempuan yang tetap memakai jilbab dan melanggar peraturan tersebut akan dikeluarkan dari sekolah. Kebijakan tersebut tentunya menyebabkan banyak keresahan di Indonesia.

Banyak orang yang merasakan keresahan dan konflik batin antara mengikuti peraturan pemerintah atau peraturan dari keyakinannya. Keresahan dan konflik batin tersebut dapat dikaji dengan kajian psikologi. Pada 400 SM, Plato mengemukakan psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat, hakikat, dan hidup jiwa manusia. Pada 1929, psikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang kesadaran. Sekitar tahun 1930-1970 psikologi didefinisikan sebagai ilmu ilmiah yang mempelajari tentang tingkah laku. Pada hakikatnya, pengertian psikologi tetaplah sama, yaitu ilmu yang memperlajari tentang tingkah laku dan psikis seseorang.

 Tanpa disadari, karya sastra memiliki kaitan yang erat dengan psikologi. Hal tersebut biasa disebut sebagai kajian psikologi sastra. Wellek dan warren membagi psikologi sastra menjadi empat kemungkinan pengertian, yaitu studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi, studi proses kreatif, studi dan tipe hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan dampak karya sastra itu sendiri terhadap pembaca.

 Karya sastra biasanya dibuat dengan latar belakang yang berhubungan langsung dengan kondisi psikologis pengarang atau orang-orang di sekitar pengarang. Dalam pembuatannya karya sastra juga tidak lepas dari kondisi psikologis tokoh yang berada di dalam karya tersebut.

 Keresahan terhadap pelarangan penggunaan jilbab rupanya juga sampai di perasaan Emha Ainun Nadjib sebagai seorang sastrawan. Ia mengungkapkan perasaan resahnya ke dalam sebuah puisi Lautan Jilbab. Puisi ini berisi tentang keinginan penyair untuk melihat bermiliar-miliar jilbab putih yang dilarang eksistensinya pada masa Orde Baru.

 Sudah menjadi rahasia umum bahwa rezim Orde Baru merupakan sebuah politik anti Islam. Namun, puncaknya ketika kebijakan pelarangan penggunaan jilbab ini dikumandangkan Presiden RI saat itu. Soeharto beranggapan bahwa Islam Radikal merupakan penyebab dari banyaknya pemberontakan yang terjadi di Indonesia.

 Peraturan pemerintah yang melarang penggunaan jilbab seakan menjadi kabar baik untuk gerakan feminis anti jilbab, bahkan gerakan ini terus meluas di masyarakat Indonesia hingga tahun 1989 dengan narasi negatif seperti "Jilbab Beracun". Gerakan tersebut menyebarluaskan kabar burung bahwa orang-orang yang menggunakan jilbab merupakan orang yang berbahaya kepada masyarakat. Propaganda tersebut membuat perempuan-perempuan berjilbab merasa takut memakai jilbab di tempat umum.

 Ketika membuat karya sastra, seorang penulis pasti mempunyai satu hal yang menjadi dorongan untuk menciptakan karya tersebut. Menurut Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul Psikologi Umum dan Patologi Sosial 3, dorongan adalah desakan yang alami untuk memuaskan kehidupan hidup dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Seperti yang dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib dalam puisi Lautan Jilbab, ia terdorong untuk menciptakan puisi tersebut karena adanya kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan jilbab pada masa Orde Baru.

 Perasaan resah, cemas, dan gelisah yang dirasakan oleh Emha Ainun Nadjib dan umat Islam pada masa itu merupakan gangguan psikologis ringan jika tidak segera ditangani akan berdampak buruk pada kelangsungan kondisi psikis si penderita. Umat Islam saat itu melawan gangguan psikologis mereka dengan aksi demonstrasi menentang pelarangan penggunaan jilbab. Emha Ainun Nadjib pun melakukan hal yang sama dengan menuangkan keresahan yang berada pada dirinya menjadi sebuah sajak dengan diksi-diksi yang indah.

 Selain dilatarbelakangi pada kondisi psikologis penyair itu sendiri, puisi Lautan Jilbab juga merupakan gambaran psikologis dari perempuan-perempuan berjilbab yang merasa takut menggunakan jilbab di ruang publik. Mereka tidak memiliki rasa aman untuk menjalankan kewajiban dari agamanya sendiri.

 Puisi Lautan Jilbab ini dibuat oleh Emha Ainun Nadjib secara spontan dan kemudian dibacakan dalam forum "Ramadhan on Campus" yang diselenggarakan oleh Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987. Puisi ini juga dikembangkan oleh penyair menjadi seni teater sebagai sarana kecenderungan Orde Baru menghalangi umat Muslim mengsekpresikan rasa keberislaman. Puisi dan pementasan yang didalangi oleh Emha Ainun Nadjib merupakan sebuah ajakan perlawanan terhadap otoritarisme Orde Baru.

Aksi demonstrasi yang dilakukan umat Islam termasuk Emha Ainun Nadjib membuahkan kabar baik. Pada tahun 1991 pemerintah Orde Baru melunak dan memberikan izin kembali penggunaan jilbab bagi siapa pun yang memiliki keyakinan untuk menggunakannya.

 Jikalau dilihat puisi tersebut bait per bait, terdapat arti yang sangat menyentuh psikis pembaca. Berdasarkan hasil analisis, penulis akan membahas kajian aspek kejiwaan penyair pada puisi Lautan Jilbab dalam menghadapi konflik batin terhadap peraturan pemerintahan. Konflik batin tersebut dapat menyebabkan berbagai gangguan psikologis ringan, seperti cemas, resah, dan gelisah.

 Emha Ainun Nadjib sebagai penyair merasa resah dengan kebijakan politik masa itu. Ia menuangkan keresahannya ke dalam puisi. Terlihat pada beberapa bait dalam sajak Lautan Jilbab yang menginginkan hal lebih terhadap penggunaan jilbab. Emha ingin melihat bermiliar-miliar orang yang memakai jilbab pada hari akhir nanti sebagai bentuk keresahannya karena pelarangan penggunaan jilbab, sehingga ia tidak dapat melihat jilbab.

Di padang mahsyar

 Di padang penantian

 Di depan pintu gerbang

 Janji keabadian

 Aku menyaksikan

 Beribu-ribu Berjuta-juta jilbab

 Tidak, aku menyaksikan bermiliar-miliar jilbab

 Lautan jilbab

 

Pada bait lain terlihat bahwa penyair menggambarkan jilbab sebagai bentuk kesucian dan ketaatan dari seorang hamba terhadap Tuhan-Nya. Penyair beranggapan bahwa pelarangan penggunaan jilbab berarti pelarangan terhadap ketaatan seorang hamba.

 

Samudera putih

 Samudera cinta kasih

 Ujung pengembaraan sejarah yang panjang

 Pengembaraan sejarah yang perih

Di padang mahsyar

 Seribu galaxy

 Hamparan jiwa suci

 Bersujud

 Putih-putih bersujud

 Menggeremangkan nyanyian Allah Sang Maha Wujud

 

Penulisan artikel ini dengan tujuan pembaca dapat memahami lebih jauh tentang kajian psikologi sastra dan penerapannya dalam menganalisis karya sastra. Kajian psikologi sastra sangat berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan karya sastra itu sendiri, baik kepada tokoh dalam karya, pengarang, dan pembaca.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun