Sejarah dan Perkembangan Program Proliferasi Nuklir Korea Utara
Setelah berakhirnya Perang Korea 1950, Korea Utara terus menunjukkan agresivitasnya di kawasan dengan pengembangan kemampuan nuklirnya sebagai deterrence terhadap "provokasi" Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan Asia Timur. Presiden pertama Korea Utara, Kim Il Sung dianggap sebagai pencetus kebijakan proliferasi nuklir Korea Utara. Pada tahun 1952, rezim Korea Utara mendirikan the Atomic Energy Research Institute. Kemampuan nuklir Korea Utara mengalami perkembangan signifikan ketika Korea Utara menandatangani perjanjian kerjasama dengan Uni Soviet. Soviet membantu Korea Utara dengan membangun Pusat Penelitian Nuklir Yongbyong di mana wilayah ini menjadi sorotan Amerika Serikat mengenai perkembangan nuklir di Semenanjung Korea. Tempat ini telah mencakup reaktor IRT-2000 Soviet yang digunakan untuk memproduksi radioisotop serta melatih personel. Sebagian besar program nuklir Korea Utara dikelola secara mandiri oleh pemerintah setempat dengan sedikit bantuan dari negara lain seperti Uni Soviet dan China.
Korea Utara secara resmi bergabung dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) pada tahun 1974 dan menempatkan seorang ilmuwan nuklir di Jenewa yang menjadi kantor pusat IAEA dengan tujuan mengumpulkan informasi terkait perancangan reaktor nuklir. Kemudian pada tahun 1980-an, Korea Utara berhasil membangun reaktor yang memproduksi plutonium. Tahun 1990-an, Amerika Serikat dan Korea Utara berupaya untuk mencapai negosiasi program pengembangan nuklir. Namun, upaya tersebut belum berhasil menghentikan kebijakan proliferasi nuklir Korea Utara sampai hari ini.Â
Proliferasi Nuklir Korea Utara Periode 2006-2023 dan Dinamika Hubungan Amerika Serikat-Korea Selatan
Oktober 2002, Pyongyang secara resmi mengumumkan penarikan diri dari Non Proliferation Treaty (NPT) setelah sebelumnya sempat meratifikasi perjanjian tersebut pada tahun 1993 dan berkomitmen untuk membekukan program nuklirnya di tahun 1994. Keluarnya Korea Utara dari NPT menjadi puncak keretakan hubungan antara Korea Utara dengan negara Asia Timur lainnya, khususnya Korea Selatan dan Jepang yang menjadi sekutu Amerika Serikat. Pasca menarik diri dari NPT, terhitung telah ada enam kali uji coba ledakan nuklir bawah tanah pada periode tahun 2006-2017. Ledakan pertama terjadi pada tanggal 9 Oktober 2006, berlokasi di Punggye-ri yang berada di timur laut Korea Utara. Lima hari setelah uji coba tersebut, Dewan Keamanan PBB sepakat untuk menjatuhkan sanksi militer dan ekonomi terbatas yang tertuang dalam Resolusi DK PBB 1718. Terlepas dari sanksi tersebut, Korea Utara tetap melanjutkan aktivitas uji coba nuklir dan hal tersebut tentu dianggap sebagai sebuah ancaman oleh negara di kawasan Asia Timur dan Amerika Serikat.
Korea Utara telah menguji rudal balistik dan hulu ledak nuklir yang semakin canggih. Pada tahun 2023, Korea Utara kembali melakukan uji coba rudal balistik antar benua (Intercontinental Ballistic Missile/ICBM) Hwasong-18. Sementara itu, pemerintah Korea Selatan menyatakan bahwa rudal ICBM tersebut mengarah ke Laut Timur. PBB telah mengecam uji coba tersebut dan mendesak agar Korea Utara mematuhi kewajiban internasionalnya. Ketegangan nuklir juga semakin meningkat di kawasan, khususnya di Semenanjung Korea dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan yang memberikan sebuah pesan ancaman bahwa proliferasi nuklir Korea Utara akan "mengakhiri" rezim Kim Jong Un. Amerika Serikat juga mengirim kapal selam bertenaga nuklir dengan tujuan menghalangi Pyongyang dari uji coba tersebut. Dilansir dari the International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), Amerika Serikat dan Korea Selatan juga sepakat untuk meningkatkan kerjasama terkait penggunaan senjata nuklir. Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol yang merencanakan pengembangan senjata nuklir secara mandiri. Sebagai wujud dari kerjasama tersebut, Amerika Serikat dan Korea Selatan melakukan latihan militer gabungan dengan pesawat berkemampuan nuklir di tengah retorika nuklir Korea Utara serta tuduhan kepada Seoul dan Washington bahwa mereka membawa negara tersebut kepada perang nuklir.Â
Masa Depan Semenanjung Korea : Dilema Keamanan dan Pasang Surut Diplomasi
Cukup sulit membayangkan bagaimana masa depan Semenanjung Korea kedepannya di tengah kompleksitas hubungan antara Korea Utara dengan negara Asia Timur lainnya, khususnya Korea Selatan yang berdekatan secara geografis. Bisa dikatakan bahwa Semenanjung Korea merupakan kawasan yang penuh dengan ketidakpastian, apabila kita melihat interaksi antar aktor yang terlibat di dalamnya serta pasang surut hubungan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat-Korea Selatan. Korea Utara yang dengan retorika keamanan nasionalnya terus melakukan program pengembangan senjata nuklir yang dianggap sebagai "deterrence" terhadap ancaman Amerika Serikat dan sekutunya di Asia Timur serta Amerika Serikat dan Korea Selatan yang juga berusaha menghalangi rencana rezim Kim Jong Un dengan kekuatan militernya semakin menempatkan Semenanjung Korea ke dalam zona yang tidak aman dari konflik militer. Baik Korea Utara maupun Amerika Serikat dan Korea Selatan terjebak dalam situasi security dilemma. Korea Utara menganggap eksistensi militer Amerika Serikat dan sekutunya merupakan sebuah ancaman bagi kepentingan dan keamanan nasionalnya. Sementara itu, Amerika Serikat dan Korea Selatan melihat program proliferasi nuklir Korea Utara sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas regional.Â
Direktur Eksekutif ICAN, Melissa Parke menyatakan "setiap ancaman tambahan, uji coba rudal, provokasi militer, atau deklarasi tentang pentingnya atau perlunya senjata nuklir, menambah risiko bencana. Spiral ini didorong oleh konsepsi keamanan nasional yang sempit dan picik, di mana kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir dipandang sebagai respons yang dapat dibenarkan terhadap ancaman asing yang nyata atau yang dibayangkan. Korea Utara, AS, dan Korea Selatan perlu menunjukkan pengendalian diri dan menghindari meningkatnya ketegangan lebih lanjut". Pernyataan ini menegaskan bahwa perlunya dialog konstruktif di antara pihak yang berseteru untuk menurunkan eskalasi konflik di kawasan dan mencegah resiko akan terjadinya perang nuklir.Â
Telah terjadi sejumlah upaya diplomatik untuk menyelesaikan perseteruan ini semenjak Korea Utara menarik diri dari NPT. Pada Agustus 2003, dilaksanakan Perundingan Enam Pihak yang melibatkan Korea Utara, Rusia, China, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Hasil dari perundingan tersebut menghasilkan output pada tahun 2005 dengan komitmen Korea Utara untuk meninggalkan semua senjata dan program nuklir yang ada serta berjanji untuk kembali ke NPT. Namun, perundingan tersebut kembali gagal mencapai kesepakatan pada tahun 2009 terkait verifikasi dan peluncuran roket Korea Utara yang dikecam oleh komunitas internasional. Setelah gagalnya Perundingan Enam Pihak, Pyongyang menyatakan bahwa mereka tidak akan kembali dalam meja perundingan dan tidak lagi terikat dengan perjanjian tersebut.Â
Maret 2018, kembali bergulir upaya perjanjian damai antara Amerika Serikat-Korea Selatan dengan Korea Utara ketika Kim Jong Un menyampaikan niatnya untuk melakukan dialog dengan presiden Korea Selatan Moon Jae In dalam Olimpiade Korea Selatan. Dialog antara Kim Jong Un dan Moon Jae In menghasilkan deklarasi denuklirisasi Semenanjung Korea pada tanggal 27 April 2018. Tidak hanya itu, Korea Utara juga berinisiatif untuk berdialog dengan Amerika Serikat dan kemudian disambut baik oleh Donald Trump. Pertemuan antara Trump dan Kim terjadi di Singapura dan kedua belah pihak menandatangani kesepakatan bersama untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih stabil dan kerjasama yang bersifat konstruktif menuju denuklirisasi Semenanjung Korea. Hasil dari pertemuan tersebut, intensitas dialog antar Korea meningkat dan latihan militer gabungan Amerika Serikat-Korea Selatan dihentikan sementara. Namun, dua bulan setelah pertemuan tersebut, terdapat laporan dari IAEA yang menyatakan perkembangan program nuklir Korea Utara yang semakin menjadi ancaman serius. Pada Juni 2020, hubungan antara Washington dan Pyongyang kembali mengalami keretakan ketika Menteri Luar Negeri Korea Utara menuduh Trump melakukan upaya diplomasi hanya untuk kepentingan politik praktis. Lebih lanjut, Korea Utara juga menghalangi upaya pemerintahan Joe Biden untuk meninjau ulang negosiasi di Semenanjung Korea dan terus melakukan uji coba kecepatan rudal balistik.