Mohon tunggu...
Salsabila Fathin Nuha
Salsabila Fathin Nuha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Restorative Justice sebagai Solusi Menyelesaikan Konflik Tanpa Mengkriminalisasi Kasus Guru Honorer Ibu Supriani

25 Desember 2024   16:20 Diperbarui: 25 Desember 2024   16:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaand an kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.” —Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan Indonesia harus berlandaskan nilai-nilai kebudayaan dan kebutuhan masyarakat, yang tidak hanya bertujuan mencerdaskan bangsa, tetapi juga mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Guru sangat penting bagi suatu bangsa, apalagi suatu bangsa yang sedang berkembang. Terutama dalam kehidupan di tengah-tengah pergeseran zaman dengan teknologi yang semakin maju dan nilai-nilai yang berubah, ilmu dan seni harus terus berkembang untuk dapat menyesuaikan diri (Ahmad, 2020).

Namun, keadaan saat ini di Indonesia sudah lama terjadi, dan salah satu faktor pentingy ang menentukan kualitas pendidikan adalah guru. Guru-guru yang bukan PNS atau non-PNS, juga dikenal sebagai guru honorer, telah dibatasi dan dihalangi untuk menikmati hak asasi manusia mereka (M.Zaki, 2024).

Dalam Praktiknya di Indonesia, guru honorer yang sering kali bertugas di daerah-daerah terpencil dengan segala keterbatasan justru menghadapi berbagai tantangan, termasukm inimalnya perlindungan hukum dan rendahnya kesejahteraan. Meningkatnya kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap guru honorer di Indonesia, yang sering terjadi karena kesalahpahaman terkait tindakan memperlihatkan betapa rentannya posisi mereka dalam menjalankan tugasnya. Kasus Supriyani merupakan contoh nyata bagaimana guru honorer di Indonesia rentan dikriminalisasi dalam menjalankan tugas pendidikan mereka. Supriyani sebagai seorang guru honorer yang telah mengabdi selama 16 tahun di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan. Supriyani dihadapkan pada tuduhan serius setelah dilaporkan oleh orang tua siswa yang merupakan anak seorang anggota kepolisian. Selain itu, tuduhan mengenai permintaan damai sebesar Rp 50 juta dari keluarga siswa, keluarga siswa yang melaporkan Supriyani atas dugaan kekerasan diduga tidak hanya menginginkan keadilan bagi anak mereka,tetapi juga mencoba memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi. Jika ini benar,permintaan uang damai ini menunjukkan kemungkinan menutupi kekuasaan dan ketidakadilan, terutama mengingat pekerjaan Supriyani sebagai guru honorer yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun dengan kompensasi yang sangat sedikit. Dalam situasi seperti ini, tuduhan seperti ini tidak hanya merendahkan reputasi guru tetapi juga menghargai tidak citra profesi pendidikan, yang seharusnya dihargai dan dilindungi.

Terkesan guru Supriyani melakukan kesalahan, akan tetapi seharusnya tidak melalui jalur hukum dalam kasus pidana tetapi melalui komunikasi kekeluargaan atau restorative justice sehingga para pendidik tidak trauma untuk mendidik anak yang sudah dititipkan ke sekolah oleh orang-orang terdekat mereka. Orang tua juga seharusnya menyerahkan sepenuhnya kepada instansi, oleh karena itu guru yang setiap hari memberikan pendidikan dan pengajaran agar anak-anak menjadi lebih mengerti adat sopan santun serta norma-norma yang ada.

Pendekatan penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice di Indonesia telah dipraktekkan di berbagai masyarakat tradisional atau bisa disebut dengan masyarakat adat Indonesia. Musyawarah yang dilakukan masyarakat adat ditempuh untuk mencapai mufakat yang merupakan Nilai terpenting dari restorative justice dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul. Dalam jiwa dan kepribadian masyarakat Indonesia telah tertanam konsep restorative justice yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat (Menurut Alamdari, 2023 dalam Al hidayat, Nanang, 2024).

Menurut informasi yang dikumpulkan, mediasi yang dilakukan antara pelapor dan terlapor dalam kasus Supriyani tidak berhasil mencapai kesepakatan. Salah satu alasannya adalah permintaan pihak pelapor untuk uang sebesar Rp 50.000.000 untuk solusi damai, yang menimbulkan ketegangan dan menjadi penghalang utama dalam proses mediasi yang seharusnya berhasil mencapai solusi damai tanpa mengambil tindakan hukum tambahan. Akibatnya, guru Supriyani harus ditahan selama satu minggu. Kasus ini menjadi viral di media sosial, meningkatkan tekanan pada pihak-pihak terkait dan menarik perhatian publik.

Tuntutan seperti ini menghalangi kesepakatan yang adil dan menguntungkan semua pihak. Untuk memastikan mediasi dapat berjalan efektif, Berikut ada beberapa hal seharusnya yang dapat dilakukan, diantara-Nya :

1. Sangat penting bahwa proses mediasi dilakukan oleh profesional yang netral dan berpengalaman dalam menyelesaikan konflik pendidikan untuk memastikan proses tersebut berhasil.

2. Mediator yang profesional dapat membantu menciptakan ruang diskusi yang aman dimana kedua belah pihak dapat berbicara tentang pendapat mereka tanpa dipengaruhi oleh uang. Diperlukan juga penjelasan tentang prosedur mediasi, yang harus mencakup batasan pada tuntutan yang dapat diajukan.

3. Melibatkan pihak ketiga yang dapat menjelaskan konsekuensi moral dan hukum dari tuntutan yang berlebihan dapat menawarkan perspektif baru bagi pihak pelapor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun