Matahari mulai tampakan sinarnya, burungburung berkicau dengan merdunya bersama hembusan angin yang bertiup menyapa dedaunan. Hingga melambai-lambai seakan menyampaikan pesan pilu. Kepada kerumunan orangorang yang tengah berkumpul di sebuah halaman pagi itu. "Titt, titt" pertanda mobil pick up yang akan kami tumpangi telah tiba. Seketika suasana kian kelabu, semua terdiam membisu memandangi wajah-wajah yang nanti akan dirindukan. Menahan isakan yang mulai terdengar perlahan, tetesan air mata tak terbendung lagi lajunya. Bukan hanya bertukar salam, berjabat tangan ataupun mencium kening, pelukan yang begitu erat kurasakan pagi itu. Bersama isak tangis kekhawatiran melihat orangorang tersayang akan pergi. Dengan tekad yang telah bulat, keyakinan yang kuat, kami melangkah dengan mantap. Meski dari jauh kesedihan jelas terlihat, kepala menunduk dengan tangan beberapa kali mengusap air mata yang terus berlinang membasahi pipi sanak saudara dan para orang tua kami. Berangkatlah kami semua ke sebuah pulau kecil di pinggir Sumatera. Bersama beberapa keluarga tetangga di kampung kami, sembari berharap akan ada kehidupan yang lebih baik di sana. Kupandangi wajah Ibu, laksana mentari tertutup awan, seperti batu karang dihantam ombak. Pancaran wajahnya tak seperti hari-hari yang lalu, meredup sayu. Matanya sembap tak berbinar tatapannya pun sendu, terlalu banyak hal yang dipikirkan. Tangannya yang lembut dengan erat menggandeng tanganku dan adikku. Sementara sosok lelaki tangguh, pahlawan bagi kami, yang tetap tegar untuk meyakinkan kami bahwa akan ada kehidupan lebih baik di sana nanti. Berdiri tepat di sampingku, sengaja menutupkan tubuhnya untuk menghalangi sinar matahari siang itu. Dialah Bapak, seorang yang tak pernah mengeluh selalu ia tampakkan kegembiraan meski letih merasuk badan. Pundaknya mulai basah bercucuran keringat, menggendong ransel bekal dan peralatan untuk kami di sana. Dengan tetap menampakkan wajah berseri penuh keyakinan, agar kami tenang tak khawatir selama dalam perjalanan. Walau hati dan pikirannya jelas penuh kegelisahan, hanya bertumpu pada harapan yang disemogakan agar menjadi kenyataan. Memperkirakan keadaan di sana nanti akan jauh lebih baik untuk menjalani kehidupan. Menata masa depan, berharap kedua anaknya kelak tak merasakan getir dan pahitnya roda kehidupan seperti yang ia rasakan. Membahagiakan orang-orang tercinta dengan sekuat jiwa dan raga, sudah menjadi landasan tekadnya. Meski sepotong janjipun tak pernah ia ungkapkan, tapi kerja keras dan keihkhlasannya sudah cukup menjadi bukti bahwa selagi ia sanggup maka kebahagiaan keluarga adalah prioritas. Bagaimana tidak? Dengan kening yang kian lusuh dan menghitam, telapak tangan kaku, keras bak batu karang, punggung membungkuk, renggang tak lagi kekar. Apakah tak cukup menjadi bukti bahwa perjuangannya tak main-main. Sepenuh jiwa dan raga ia pertaruhkan, terik matahari tak dihiraukan, meski panasnya membakar seluruh badan. Berapa kali badannya dirasuki dingin sampai ke tulang, diterjang ribuan rintik derasnya guyuran hujan. Tak lantas dijadikannya alasan untuk berkeluh kesah dan mengecilkan langkah. Terlalu kecil untuk memilih mundur dan menyerah. Segala jerih payah, letih dan lelah disampulnya dengan senyum nan merekah. Tak dirasa meski keadaan tengah susah, tak dirisaukan badannya yang kian merenta. Semua dianggap biasa demi senyum bahagia dari keluarga tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H