Mohon tunggu...
salsabila
salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lubang Buaya Cemetuk, Jejak Sejarah yang Jarang Diketahui Masyarakat Banyuwangi

26 Desember 2024   00:38 Diperbarui: 26 Desember 2024   00:38 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyuwangi - Di balik pesona alam Banyuwangi yang memukau, tersembunyi sebuah kisah kelam di desa kecil bernama Cemetuk yang berada di kecamatan Cluring. Desa ini memiliki situs sejarah yang dikenal sebagai "Lubang Buaya Cemetuk". Tempat tersebut adalah saksi bisu tragedi politik dan kekerasan yang terjadi pasca-G30S di Indonesia.

Berdasarkan cerita warga sekitar, Lubang Buaya Cemetuk mungkin tidak sepopuler yang ada di Jakarta, tetapi dipercaya memiliki kisah tragis serupa. Pada tahun 1965, setelah peristiwa G30S, kawasan lubang buaya ini diduga menjadi lokasi pembantaian massal bagi 62 pemuda Ansor oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hingga saat ini, belum ada data resmi yang dapat memastikan jumlah korban atau detail kejadian tersebut, dengan sebagian besar informasi berasal dari cerita lisan masyarakat.

Dahulu, Lubang Buaya tersebut hanyalah cekungan tanah untuk pembuangan sampah. Namun, menurut beberapa saksi lokal, lubang tersebut kemudian digunakan sebagai tempat penguburan massal yang dilakukan oleh PKI. Dari beberapa cerita yang beredar, pemuda Ansor yang meninggal diduga diracun lalu dibantai oleh PKI.

Meskipun menyimpan nilai sejarah yang penting, keberadaan Lubang Buaya Cemetuk kurang diketahui masyarakat luas, termasuk warga Banyuwangi sendiri. Kekurangan informasi dan dokumentasi membuat tempat ini nyaris terlupakan dan hanya sedikit orang yang mengetahui keberadaannya.

Seorang pengurus di Lubang Buaya yaitu Bapak Supingi yang tinggal di Desa Cemetuk, menunjukkan kepeduliannya terhadap situs ini. Dalam wawancaranya, Beliau menyatakan bahwa cerita tentang Lubang Buaya telah lama ia dengar dari generasi sebelumnya. "Cuman saya tau dari tokoh yang menerangkan dulu, tempur disini, Ansor itu kalah, terus dimasukkan disitu" ungkapnya. Namun, ia juga menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk memastikan kebenaran cerita yang beredar. Bapak Supingi juga menekankan bahwa masyarakat setempat tidak memiliki rasa dendam dan lebih memilih memetik hikmah dari kejadian tersebut. "Waktu itu sampai sekarang tidak ada rasa dendam, aman-aman aja" ujarnya.

Mengungkap sejarah Lubang Buaya Cemetuk merupakan tantangan besar, mengingat isu ini masih dianggap sensitif karena terkait konflik politik di masa lalu. Namun, pencarian kebenaran bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah bangsa, bukan untuk menyalahkan pihak tertentu.

Jika kebenaran cerita-cerita tentang Lubang Buaya Cemetuk dapat dibuktikan, situs ini berpotensi menjadi sarana edukasi sejarah. Dengan pengelolaan yang baik, tempat ini bisa menjadi ajang refleksi bagi generasi muda tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dan dampak buruk dari kekerasan politik. Lubang Buaya Cemetuk, jika diteliti dan dikelola dengan baik, bisa menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya menjaga perdamaian dan menolak kekerasan. Dengan mengenal dan memahami sejarah ini, kita dapat belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun