Yogyakarta -- Salah satu tempat pariwisata yang cukup banyak diminati pengunjung luar daerah Yogyakarta adalah Pasar Beringharjo. Salah satu pasar tradisional yang memiliki peranan yang tidak kalah penting. Pasar ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung karena letaknya yang sangat strategis yaitu di Kawasan Malioboro.
Keberadaan para buruh angkut atau kuli angkut di pasar, stasiun ataupun tempat umum lainnya sudah menjadi hal yang lumrah. Namun ada yang unik dari para buruh angkut di Pasar Beringharjo Yogyakarta ini. Dengan mudah kita akan menemukan para buruh gendong itu ketika memasuki pasar tradisional terbesar di Yogyakarta dan mereka mayoritas adalah perempuan yang usianya tak lagi muda.
Keberadaan buruh gendong memang tak terlepaskan dari pasar tradisional, terutama Pasar Beringharjo Yogyakarta. Para buruh gendong mayoritas perempuan dan disebut "Wanita Kuat" karena bisa membawa barang bawaan dengan berat sampai puluhan bahkan ratusan kilogram.Tak jarang rasa sakit dan nyeri menyerang bagian leher, bahu dan punggung mereka.
Pagi-pagi buta, sebelum pasar ramai oleh pengunjung, buruh gendong sudah bersiap-siap untuk membawa beban berat dari berbagai barang dagangan. Dengan peralatan sederhana namun kuat, mereka menjalankan tugasnya dengan tekun, membawa hasil pertanian, tekstil, dan barang dagangan lainnya ke berbagai toko di pasar. Beberapa buruh gendong memiliki hubungan kerja yang erat dengan pedagang dan toko-toko di pasar. Keberadaan mereka membantu mendistribusikan barang dagangan dari tempat penyimpanan ke toko-toko, memastikan ketersediaan produk untuk pembeli. Hal ini tidak hanya mendukung aktivitas perdagangan, tetapi juga menciptakan jaringan solidaritas di antara komunitas pasar.
Salah satu buruh gendong di Pasar Beringharjo Bernama Mbah Sri, buruh gendong asal Kulon Progo yang telah menekuni pekerjaan tersebut sejak tahun 1997 di Pasar Beringharjo. Siapa sangka Mbah Sri berusia 76 Tahun bekerja menjadi buruh gendong, di usianya itu masih mampu mengangkut beban hingga 60 kilogram."Kadang ada orang yang meminta membawakan barang dengan berat 100 kilogram, tapi karena terlalu berat dan saya tidak kuat, jadi saya menggunakan gerobak sorong"Ujar Mbah Sri. Kondisi fisik yang memerlukan kekuatan dan ketahanan tidak menghalangi semangat para buruh gendong. Mereka menjalankan tugasnya dengan keuletan, menjadi elemen yang tidak tergantikan dalam dinamika pasar tradisional yang berlangsung puluhan tahun.
Pekerjaan ini, ia jalankan setiap hari, mulai pukul 09.00 -- 16.00. Harga jasa yang ditawarkannya pun beragam, mulai dari Rp 5.000 -- Rp 20.000. Harga tersebut, ia patok berdasarkan berat dan jarak tempuhnya. Dalam sehari Mbah Sri mampu menerima lima orang yang ingin menggunakan jasanya. Walaupun uang yang didapatkan tak seberapa Mbah Sri tetap bersyukur serta melakukan pekerjaannya dengan Ikhlas dan sabar.
Buruh gendong di Pasar Beringharjo tidak hanya pekerja, tetapi juga pilar keberlanjutan pasar tradisional. Kisah heroik mereka menceritakan tentang dedikasi, ketangguhan, dan semangat dalam menjaga esensi pasar sebagai bagian integral dari budaya dan ekonomi lokal di Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H