Mohon tunggu...
Salsabilatur Rohmah
Salsabilatur Rohmah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMAN 1 PURWOSARI

Seorang siswa kelas X

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Seorang Petani Juga Bisa Membangun Indonesia Emas 2045

10 Agustus 2024   10:10 Diperbarui: 10 Agustus 2024   10:38 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tabloidsinartani.com/

        Pasti kalian sudah tidak asing dengan sebutan Indonesia negara agraris, tetapi sekarang sebutan itu mungkin sudah tidak berlaku lagi, karena pada saat ini Indonesia sangat kekurangan petani millenial. Kebanyakan petani Indonesia itu bukan anak-anak muda melainkan orang yang usianya sudah menginjak 40 tahun ke atas. Pasti diantara kita sebagai generasi muda mungkin hanya 1% dari 10% anak di Indonesia yang bercita-cita menjadi petani milenial. Kebanyakan dari kita itu pasti memilih menjadi dokter, polisi, ataupun tentara. Pekerjaan petani itu sering kali dipandang sebelah mata. Kalian tau gak sih kalau petani milenial juga bisa membangun negeri ini?

          Menurut peraturan menteri pertanian Republik Indonesia nomor 04 tahun 2019 pasal 1 ayat 4 menerangkan bahwa: ' petani milenial adalah petani berusia 19 (sembilan belas ( tahun sampai 39 (tiga puluh sembilan) tahun, dan/atau petani yang adaptif terhadap teknologi digital. Secara garis besar petani milenial adalah petani yang mampu memanfaatkan perkembangan teknologi untuk kemajuan dalam bidang pertanian. Seorang petani milenial harus mampu mengembangkan dan menciptakan sebuah ide atau inovasi yang dapat menarik generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian. Indonesia sangat memerlukan petani milenial dikarenakan sistem pertanian yang ada di Indonesia ini masih sangat gaptek dan tertinggal jauh dengan negara-negara maju seperti Jepang, China, dan Amerika Serikat.

           Semakin majunya peradaban dan teknologi banyak sekali pupuk kimia yang diproduksi secara massal dan juga terjual dengan harga yang terjangkau. Pada awalnya penggunaan pupuk kimia pasti hasilnya sangat bagus. Semua hama yang menyerang tanaman dapat dengan mudah di basmi, tetapi apakah kalian tau dampak penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu yang panjang? Penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu yang panjang dapat merusak pH tanah dan juga dapat merusak ekosistem sawah yang ada contohnya dengan penggunaan pestisida pembasmi hama wereng. Semua hama wereng yang menyerang tanaman akan mati, tetapi katak, kumbang, dan laba-laba yang hidup di sawah akan kehilangan sumber makanannya. Selain itu penggunaan pupuk kimia dapat membuat tanah mengeras dan kehilangan porositasnya serta memusnahkan mikroorganisme yang dibutuhkan oleh tanah, akibatnya kadar pH tanah meningkat dan tanaman tidak dapat tumbuh dengan subur sayangnya pada zaman ini banyak para petani yang tidak memperdulikan kelestarian ekosistem tanah, jikalau ada mungkin sudah di ejek dengan kalimat " ngapain sih harus jaga pH tanah dengan gak pakai pupuk kimia, terus harus pakai pupuk apa?" Padahal selain pupuk kimia terdapat banyak sekali pupuk organik organik yang lebih ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem sawah. 

            Petani milenial juga harus mampu menciptakan sebuah teknologi ataupun inovasi yang dapat meringankan pekerjaan mereka. Contohnya adalah Indo Combine Harvester sebuah alat yang digunakan saat panen karena alat ini hanya membutuhkan tiga orang dengan waktu kerja sekitar 4 - 6 jam. Keunggulan lainnya adalah tingkat kebersihan panen yang mencapai 99%. Inovasi lain untuk mengurangi penggunaan pestisida pembasmi hama wereng ialah dengan menanam bunga yang memiliki warna yang cerah contohnya ialah bunga matahari, bunga kertas, bunga mawar, dan bunga tahi ayam. Bunga itu ditanam di sekeliling tanaman padi yang terkena hama wereng fungsi dari bunga tersebut ialah untuk memikat predator alami wereng yakni laba-laba dan kumbang, tanaman tidak perlu ditana terlalu rimbun agar tidak mengundang ham lain seperti hama tikus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun