Mohon tunggu...
Salsa Sabila
Salsa Sabila Mohon Tunggu... Lainnya - Wirausaha

Caca nama panggilanku, hobi ku sedari dulu menulis cerita pendek, kadang terinspirasi dari kejadiannya nyata atau kadang khayalanku menuntunku untuk menggoreskan tinta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangan dari Surga

21 Maret 2024   07:47 Diperbarui: 21 Maret 2024   07:51 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: penyimpanan internal/Canva

Aku lelah, dengan semua masalah hidup ini. Rasanya aku ingin kembali ke masa kecilku, bersama nenekku. Rasanya damai jika ada di sampingnya, dalam dekap hangat tubuhnya mengalirkan kasih sayang tiada henti sampai ke ujung nadi. Kini aku hanya bisa bernostalgia saja walaupun sesak dalam diri yang hingga detik ini belum terobati.


Aku duduk sendiri di antara beberapa orang yang makan dengan lahapnya. Aku melihat ke etalase, banyak sekali macam-macam makanan yang di sajikan. Aku sampai kebingungan memilihnya. Tapi ada satu hidangan yang mencuri perhatianku, opor ayam. Ku pesan satu porsi ditambah nasi dan es teh.


Tak menunggu lama, pesananku tiba di meja makan. Diantarkan oleh seorang wanita tua yang mungkin usia nya setara dengan mendiang nenekku. Ah rasanya rindu sekali padanya, ingin ku ceritakan semua yang telah terjadi padaku di usia dewasaku ini.


"Den... Ngapain kamu melamun terus? Gak enak ya masakan nenek?" Tanya seorang wanita tua juru masak di tempat makan itu. Aku terkejut ternyata dari tadi ada yang memperhatikanku dari arah dapur, dia mendekat ke arahku dan duduk di sampingku.
"Oh...tidak nek ini, opor ayam nya enak banget nek! persis seperti buatan nenek saya dulu". Jawabku sembari memakan opor ayam.
" Den sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu, apa boleh nenek tahu kamu sedang ada masalah apa?" Tanya nenek itu sambil menatapku dengan mata tajam sepertinya dia sangat ingin tahu apa yang aku pikirkan. Aku sedikit aneh melihat gelagatnya yang sedikit membuatku terusik, awalnya aku ragu untuk menceritakan apa yang sedang menumpuk di pikiranku. Tapi entah mengapa saat ku mulai lihat sorot matanya, aku seperti melihat sosok nenekku disana.


Nenek itu memanggilku Raden, sama seperti halnya nenekku dulu. Seolah aku adalah keturunan pemangku negeri. Padahal nyatanya kami hanya orang biasa, yang bertahan hidup dengan kaki kami sendiri. Entahlah mengapa nenekku menyebutku seperti itu, mungkin harapannya di masa depan nanti aku akan menjadi orang terpandang dan memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni.


Kuceritakan semuanya pada nenek itu kami berbincang hangat sampai tak terasa hari sudah mulai gelap, pesan dari nenek itu yang ku ingat "Jadi anak harus kuat, jangan lemah kayak temennya tempe... Harus mandiri, tangguh. Cari tempat kamu dihargai bukan sekedar dibutuhkan, cari orang tulus yang akan menemanimu hingga tua nanti, nenek selalu ada disamping mu serta hatimu." Aku menunduk malu karena telah merasa kalah dengan keadaan, tapi setelah ku cerna pesan dari nenek itu, dia mengatakan "Nenek selalu ada disamping serta hati", apa dia adalah nenekku? Saat aku kembali melihat ke arah tempat duduk itu, nihil dia tak ada. Ku coba cari ke sekeliling tempat makan, dan bertanya kepada karyawan disana tentang nenek yang duduk bersamaku. Anehnya tidak ada satupun yang mengenalinya. Salah satu karyawan berkata padaku, aku hanya duduk seorang diri sambil melamun melihat opor ayam. Aku mencubit pipiku berusaha sadar dari lamunan ini. "Ah mungkin saja karena aku sedang rindu nenek, aku berkhayal bertemu nenek, sebaiknya aku mengunjungi kediaman nenek akhir pekan ini".


Hembusan angin dari barat membawaku ke tempat paling sunyi ini. Dimana hanya ada tangis dan doa yang bisa menembus jauhnya jarak antara aku dan nenek. Ku tadahkan tangan mengirimkan pesan pada dia yang sudah enggan menjawab pertanyaan ku lagi. Dia tidak marah terhadapku, juga bukan tidak menyayangiku lagi, hanya berpisah raga dan jiwanya yang tersisa hanya kenangannya saja.
Ku siram dengan air mawar diatas tempat indahnya itu, ku tambahkan dengan taburan bunga kenanga. Ku bersihkan daun kering di sekitarnya agar kediamannya terlihat elok dipandang.


Nenek, sosok wanita yang ku kenal paling kuat dan tulus menyayangiku. Belaiannya kasih lembutnya membuatku ingin kembali ke masa itu.
Aku yakin nenek pasti kembali, entah dalam wujud apapun. Dia pasti ingin tahu kabarku saat ini, memang dia orang yang paling khawatir tentang keberadaan ku dibanding orang tuaku sendiri. Celotehannya selalu membuatku tertawa, nasihat baiknya selalu ku melekat pekat dalam ingatan. Bila dia tersenyum hatiku terasa penuh dengan kebahagiaan, rambut putih yang dibalut dengan kain membuatnya semakin cantik.
Andai nenek masih ada disini, sepertinya hari-hariku lebih ringan. Aku rindu bisa berbagi cerita dengannya, dia pendengar yang baik, sungguh. 

Selain dia adalah nenekku dia bisa menjadi apapun yang aku minta. Dia bahkan seorang juru masak yang handal, dia bukan dari ajang kompetisi ataupun les masak, tapi jemari ajaibnya itu sungguh hebat. Dia bisa menciptakan rasa yang berbeda dalam suatu makanan yang tak pernah dimiliki oleh orang lain. Yang paling ku ingat opor ayam kesukaanku, dari memotong hingga proses memasak dia lakukan sendiri. Walaupun jadinya hanya semangkuk saja. Sisanya dia sumbangkan pada tetangga kami yang lebih membutuhkan, karena nenek selalu peduli kepada tetangganya. Katanya jangan sampai kita kenyang sedangkan tetangga di pinggir kita kelaparan. Sungguh mulia hatimu nek.


Nek, aku rapuh. Aku lelah, boleh kah aku ikut pergi saja denganmu? Meninggalkan dunia ini? Nek, bolehkah aku berhenti berjuang hidup? Aku tidak tahu tujuanku saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun