Pada bulan Juli lalu, saya berkesempatan untuk melakukan penelitian akhir di Dusun Karang Tekok, sebuah dusun yang menempati area buffer Taman Nasional Baluran. Merupakan pengalaman unik tinggal di perkampungan dekat area savana, juga banyak fenomena yang umumnya tidak kita jumpai di tengah hiruk pikuk perkotaan.
Begitu tiba di lokasi setelah perjalanan panjang, rombongan kami disambut oleh kawanan sapi yang melintas di sepanjang jalan desa dari arah hutan. Sapi-sapi ini jinak, mau berbagi jalan dengan kendaraan yang melintas, serta patuh mengekor pemimpin gerombolan. Fenomena ini rupanya telah menjadi rutinitas sapi-sapi milik warga Dusun Karang Tekok. Pagi berangkat merumput ke hutan, kemudian pulang ke kandang masing-masing menjelang petang, dengan diantar jemput seperti anak sekolah.
Saya penasaran dengan bagaimana sapi-sapi itu mengenali arah pemukiman. Pada satu kesempatan, saya ikut peternak mencari sapinya di pinggir hutan. Disana, saya berpapasan dengan gerombolan sapi jenis PO dan Limpo berbaris berjalan pulang. Mulai sapi induk, dara, hingga pedet yang sedang aktif-aktifnya bermain dilepas begitu saja. Meskipun jumlah ternak mencapai ratusan, peternak bisa mengenali sapi miliknya dari kejauhan berdasarkan suara lonceng kalungnya.
Selain kebiasaan sapi yang unik, tenaga kerja keluarga yang terlibat dalam kegiatan kali ini adalah para perempuan tangguh. Kondisi lansia tidak membatasi mereka dalam berpacu dengan petang, bahkan masih sempat berkelakar. Topiknya lebih berbobot dibanding candaan yang biasa saya buat.
Kembali ke sapi, keberadaan ternak sebaiknya diikuti karena dikhawatirkan hilang di tengah persil (area persawahan) atau merusak lahan jagung di Tanah Gentong, sebuah zona pemanfaatan yang digunakan sementara oleh masyarakat setempat untuk usahatani. Berhubung tidak membawa senter dan perbekalan, kami memutuskan untuk pulang dan mempercayakan ternak pada hutan.
Beberapa hari kemudian, saya tertantang untuk terlibat dalam kegiatan penggembalaan (angon) sapi ke tengah hutan bersama warga setempat. Meskipun telah cukup sering healing di padang penggembalaan, ini menjadi pengalaman baru karena butuh waktu empat jam menyisir hutan dengan berjalan kaki. Meskipun saya biasa mengenakan sandal jepit, peternak justru menyodorkan sepatu dan topi dengan alasan keamanan, karena di kawasan ini banyak bertebaran tanaman berduri yaitu Arabika / klampis ireng (Vachellia nilotica).
Menjelang siang kami mulai berangkat, matahari terasa menyengat ubun-ubun. Suhu tinggi memang cukup umum terjadi di area ini. Selama perjalanan, kami berbincang sembari mengamati vegetasi alam yang mengisi tubuh Taman Nasional Baluran. Selain rabika atau akasia yang dianggap sebagai tanaman pengganggu/ hama, kami mengidentifikasi tanaman lain yang mengisi ekosistem Baluran seperti widoro bukol, mimba, asam jawa, gebang, hingga opelan.