Belakangan ini saya sering melihat berbagai macam sinetron yang bertema percintaan, dengan latar belakang dunia persekolahan. Dalam sinetron itu, dunia persekolahan digambarkan sebagai ajang pencarian popularitas, tempat berhura-hura, dan saling menjatuhkan teman. Sinetron-sinetron semacam itu telah menggambarkan dunia persekolahan atau pendidikan tidak sama seperti aslinya, terkesan dilebih-lebihkan, dan menanamkan sebuah pemikiran kepada anak-anak bahwa sekolah itu fungsi terbesarnya bukan untuk menuntut ilmu.
Contohnya, di dalam sinetron itu diceritakan seorang anak bersekolah, namun selama kegiatan persekolahan berlangsung, yang ditayangkan hanya saat anak itu berpacaran, membolos ditengah jam pelajaran dan pergi ke tempat hiburan (mall atau bahkan diskotik), berpacaran di depan umum, saling mencelakai lawan dengan cara yang menurut saya terlalu berlebihan yang tidak mungkin dilakukan oleh anak-anak seumuran mereka yang masih SMA atau SMP.
Mungkin maksud media menayangkan hal tersebut di sinetron adalah dengan maksud memperlihatkan kepada anak-anak yang menonton agar jangan meniru hal tersebut. Namun, jika maksudnya demikian, seharusnya dalam sinetron tersebut akhirnya diperlihatkan bahwa yang jahat selalu celaka tetapi yang terjadi adalah yang baik tidak pernah menang dan selalu tertindas. Hal ini secara tidak langsung mengatakan kepada audience bahwa jika kita tidak memberontak kita akan tertindas, dan hal ini secara tidak langsung mengajarkan anak-anak di bawah umur yang menonton sinetron tersebut untuk menjadi pemberontak.
Dampak kecil dari sinetron ini saya saksikan langsung ketika saya sedang bersantai di teras rumah saya beberapa bulan lalu di sore hari. Waktu itu saya melihat tetangga-tetangga saya yang berumur sekitar 6 sampai 10 tahun sedang bermain bersama. Mereka tidak bermain "masak-masakan" atau permainan yang biasanya anak seusia mereka lakukan. Setelah saya amati dan dengarkan, mereka sedang bermain "sekolah-sekolahan." Saya pikir mereka akan berpura-pura belajar di kelas kemudian bertanya kepada guru, seperti yang saya lakukan dulu. Tapi yang ada, mereka malah menirukan kata-kata sarkastik, kasar, dan vulgar bahkan berpura-pura menyusun jebakan untuk teman sekolah mereka kemudian tertawa layaknya peran antagonis di sinetron tersebut.
"Hahaha, mampus lo! rasain! dasar anak kampungan!"
"Lo tuh ga pantes ada di sekolah elit ini, lo pantesnya pungutin sampah aja sana di kolong jembatan!"
Kata-kata semacam itu meluncur keluar dari mulut-mulut anak berusia 5 sampai 10 tahun tersebut. Mendengarkan mereka berkata semacam itu membuat hati merasa miris.
Hal itu merupakan sebuah gambaran bahwa secara tidak langsung, mereka menganggap bahwa hal semacam itu akan mereka lakukan juga di sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas nanti, dan hal semacam itu merupakan hal yang wajar terjadi di dunia persekolahan. Mengingat dalam sinetron yang mereka tonton sehari-hari, tidak ada peran guru yang signifikan, untuk mengontrol murid-muridnya.
Seperti apa yang dijelaskan G.H. Mead dalam teorinya tentang proses sosialisasi, ada tiga tahap proses sosialisasi yang dialami manusia sepanjang hidupnya. Untuk anak berusia 5 sampai 10 tahun, mereka akan memasuki tahap play stage, yaitu suatu tahap dimana anak mulai mampu meniru secara sempurna. Seperti yang selalu kita lihat, anak kecil selalu meniru apa yang dikerjakan orang disekitarnya dan menerima apa yang sudah dilihatnya. Pada dasarnya anak kecil sangat gampang untuk meniru.
Sinetron semacam seperti yang saya jelaskan sebelumnya memang bukan faktor terbesar dalam kerusakan moral anak bangsa, tapi menurut saya sinetron itu merupakan salah satu faktor perusak moral anak bangsa yang tidak bisa diabaikan terus-terusan, dan menurut saya sinetron semacam ini merupakan awal mula kerusakan moral anak bangsa karena memberikan inspirasi berupa contoh buruk kepada generasi penerus bangsa. Dalam masalah ini, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk membantu anak menyeleksi program televisi yang akan mereka tonton. Jangan anggap remeh dengan apa yang ditonton anak-anak anda, karena alam bawah sadar mereka akan mencerna hal yang sehari-hari mereka lihat untuk dijadikan contoh dalam menjalani kehidupan.
Kemudian untuk pihak pertelevisian yang banyak menayangkan sinetron semacam itu, seharusnya tidak menayangkan sinetron percintaan dengan peran anak-anak SMA dan SMP, apalagi anak SD. Ambillah peran yang sudah umurnya dan latar belakang yang seharusnya, untuk menjalankan lakon percintaan. Selain itu, akan lebih bijak lagi jika penyangan sinetron diletakkan pada jam-jam ketika anak-anak dibawah umur sudah memasuki jam tidur mereka.