PERS, POLITIK, KEKUASAAN: REFLEKSI KRITIS DI HARI PERS NASIONAL 2025
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Peringatan Hari Pers Nasional tahun ini dirayakan tepat tanggal 9 Februari 2025 yang tercantum dalam keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 oleh Presiden Soeharto. Perayaan HPN tahun 2025 dengan tema 'Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa'. Hari Pers Nasional 2025 menjadi momentum penting untuk merefleksikan peran pers dalam dinamika politik dan kekuasaan di Indonesia. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang akurat, objektif, dan berimbang kepada masyarakat.
Namun, di tengah realitas politik yang semakin kompleks, media sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari tekanan kepentingan politik hingga intervensi pemilik modal. Kebebasan pers yang idealnya menjadi alat kontrol sosial terkadang justru terkooptasi oleh kepentingan tertentu. Oleh karena itu, refleksi kritis terhadap hubungan pers, politik, dan kekuasaan menjadi hal yang mendesak untuk memastikan bahwa pers tetap menjadi penjaga demokrasi yang independen dan terpercaya.
Pers dan politik merupakan dua elemen yang memiliki hubungan erat dan tak terpisahkan dalam perjalanan sejarah, terutama dalam konteks demokrasi. Sejak era perjuangan kemerdekaan hingga masa reformasi, pers berperan sebagai alat perjuangan yang tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga membentuk opini publik dan mendorong perubahan sosial. Dalam sistem politik modern, pers memainkan peran sebagai pengawas jalannya pemerintahan dengan menghadirkan berita yang kritis, independen, dan berbasis fakta. Namun, hubungan ini sering kali tidak berjalan seimbang, karena politik juga memiliki kekuatan untuk mengendalikan pers melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam beberapa kasus, media digunakan sebagai alat propaganda bagi kelompok atau individu tertentu yang memiliki kepentingan politik, sehingga independensi jurnalistik menjadi terancam. Selain itu, banyaknya media yang dimiliki oleh elite politik atau konglomerat dengan kepentingan tertentu turut memengaruhi objektivitas pemberitaan. Fenomena ini sering kali membuat publik sulit membedakan antara informasi yang obyektif dengan berita yang telah dikemas untuk tujuan politik tertentu. Di sisi lain, politisi dan penguasa sering kali merasa terancam oleh pers yang bersikap kritis, sehingga tak jarang muncul upaya pembungkaman melalui regulasi yang membatasi kebebasan pers, ancaman hukum, atau bahkan intimidasi terhadap jurnalis.
Meski demikian, di tengah dinamika yang penuh tantangan ini, masih ada harapan bahwa pers tetap bisa menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi yang sehat. Dengan memperkuat etika jurnalistik, meningkatkan literasi media di masyarakat, dan menegaskan regulasi yang berpihak pada kebebasan pers, diharapkan pers mampu tetap menjadi kekuatan yang berdiri di atas kepentingan publik, bukan sekadar alat bagi kepentingan politik tertentu.
Kekuasaan memiliki pengaruh besar dalam mengendalikan media, baik secara langsung maupun melalui mekanisme yang lebih halus. Dalam banyak kasus, media yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas kekuasaan justru menjadi alat bagi kepentingan politik atau ekonomi pihak tertentu.
Fenomena ini dapat terlihat dalam kepemilikan media oleh elite politik atau konglomerat yang memiliki afiliasi dengan kekuasaan. Dengan kendali atas media, mereka dapat mengarahkan pemberitaan sesuai dengan kepentingan mereka, baik untuk membentuk citra positif, menyerang lawan politik, maupun menutupi isu-isu yang berpotensi merugikan mereka. Akibatnya, independensi jurnalistik semakin terancam, dan masyarakat kesulitan mendapatkan informasi yang benar-benar objektif.