PEMBATALAN PTDH RUDI SOIK, REFLEKSI DAN HARAPAN REFORMASI PADA TUBUH POLRI
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Kasus pembatalan keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) Ipda Rudi Soik menjadi sorotan publik dan membuka ruang diskusi terkait mekanisme penegakan disiplin di tubuh Polri. Keputusan PTDH yang sempat dijatuhkan namun kemudian dianulir, memunculkan pertanyaan tentang transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi sistem hukum internal institusi tersebut. Sebagai institusi penegak hukum, Polri diharapkan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan. Kasus Ipda Rudi Soik ini memberikan momentum refleksi penting: sejauh mana sistem disipliner Polri dapat dipercaya, dan apa yang harus diperbaiki untuk mewujudkan institusi yang lebih profesional dan berintegritas?
Sebelumnya, pada Oktober lalu, melalui sidang Komisi Etik Polri yang berlangsung di Polda NTT, Ipda Rudy Soik diberikan sanksi PTDH oleh Bid. Propam Polda NTT. Ia dinilai telah melanggar etik, seperti pergi berkaraoke di jam dinas dan tak hadir di kantor selama tiga hari. Namun, hal itu ditepis oleh pihak Rudy. Isu yang beredar, Ipda Rudy Soik dikenai sanksi PTDH karena upayanya mengungkap kasus mafia BBM ilegal. Terhadap keputusan PTDH tersebut, Ipda Rudy Soik pun mengajukan banding serta membawa kasusnya kepada Komisi III DPR RI.
Ada dua versi yang melatarbelakangi Ipda Rudy Soik dipecat yakni menurut versi Polda NTT dan versi Rudy Soik. Keduanya punya narasi yang bertolak belakang. Intinya, Polda NTT memecat Ipda Rudy Soik karena persoalan disiplin dan etik, sebaliknya dari pihak Ipda Rudi Soik oleh Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus membacakan kronologi yang bertolak belakang dari versi polisi, mengatakan bahwa pemecatan Ipda Rudi Soik sebagai "kriminalisasi" dan upaya menghentikan kasus mafia BBM yang melibatkan anggota polisi.
Gelaran kasus Ipda Rudi Soik ini karena kiprahnya dalam upaya membongkar praktik mafia BBM ilegal di wilayah tugasnya di Polres Kota Kupang. Sebagai anggota Polri, tindakan Ipda Rudi Soik menggambarkan keberanian dalam menjalankan tugas yang berisiko demi menegakkan hukum. Namun, keputusan PTDH terhadapnya sempat menjadi paradoks, seolah-olah keberanian tersebut tidak mendapatkan apresiasi yang selayaknya.
Dari perspektif hukum, kasus ini menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap aparat yang melaksanakan tugas sesuai sumpah jabatan mereka. Sementara itu, dari sisi etika, keputusan PTDH dan pembatalannya mencerminkan dilema antara menjaga integritas institusi dan memberikan keadilan individual bagi anggota yang bertindak atas dasar profesionalisme dan keberanian moral. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apakah sistem hukum internal Polri benar-benar mendukung anggota yang berjuang melawan kejahatan terorganisir atau justru melemahkan posisi mereka.
Kasus Ipda Rudi Soik mengungkap kelemahan signifikan dalam sistem disipliner Polri, terutama dalam hal transparansi dan konsistensi penegakan aturan. Proses keputusan PTDH yang sempat dijatuhkan namun akhirnya dibatalkan menunjukkan adanya potensi ketidakcermatan dalam evaluasi kasus. Hal ini dapat mencerminkan lemahnya mekanisme pengawasan internal yang seharusnya menjamin bahwa keputusan diambil berdasarkan fakta dan hukum yang kuat, bukan atas tekanan atau faktor lain di luar substansi perkara.
Selain itu, kurangnya keterbukaan informasi mengenai alasan-alasan yang melandasi setiap keputusan dapat memunculkan persepsi negatif di masyarakat, bahkan terhadap anggota yang berupaya menjalankan tugas secara profesional. Dalam jangka panjang, kelemahan seperti ini tidak hanya merugikan individu anggota Polri, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap institusi tersebut sebagai penegak hukum yang adil dan berintegritas.
Pembatalan keputusan PTDH terhadap Ipda Rudi Soik memberikan momentum untuk mendorong reformasi yang lebih menyeluruh di tubuh Polri. Reformasi ini diharapkan tidak hanya menyentuh aspek prosedural dalam sistem disipliner, tetapi juga memperkuat komitmen terhadap transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan bagi anggota yang menjalankan tugasnya dengan menunjukan integritas. Sistem hukum internal perlu diperbaiki agar setiap proses evaluasi berjalan adil, objektif, dan bebas dari pengaruh eksternal yang dapat mencederai prinsip keadilan.
Penting bagi Polri untuk memastikan bahwa anggota yang berani mengungkap kejahatan, seperti Ipda Rudi Soik, mendapatkan dukungan institusional yang memadai. Dengan reformasi yang komprehensif, Polri tidak hanya akan menjadi institusi yang lebih profesional, tetapi juga mampu membangun kembali kepercayaan publik sebagai pilar utama penegakan hukum di Indonesia.