Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Virus Toxic di Dunia Kerja: Apakah Anda Bagian dari Solusi atau Masalah?

21 Desember 2024   08:17 Diperbarui: 21 Desember 2024   08:17 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

VIRUS TOXIC DI DUNIA KERJA: APAKAH ANDA BAGIAN DARI SOLUSI ATAU MASALAH?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar. youtube.com
Input gambar. youtube.com
Virus Toxic Masuki Dunia Kerja

Saat saya membaca sebuah ulasan sahabat seprofesi bernama Mas Wartono di Kompasiana bertanggal 17 Desember 2024 dengan topik Toxic: Kambing Hitam Resign, saya merasa topik tersebut begitu menggelitik sekaligus relevan dengan dinamika dunia kerja saat ini. Penulis ulasan tersebut dengan cermat mengupas fenomena budaya toxic yang sering kali dijadikan alasan utama seseorang memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Hal menariknya adalah bagaimana penulis menyoroti kecenderungan menjadikan "toxic" sebagai kambing hitam, tanpa diiringi refleksi mendalam terhadap faktor lain, seperti kepribadian, ekspektasi yang tidak realistis, atau kurangnya kemampuan beradaptasi. Melalui ulasan ini membuka wawasan bahwa di balik keputusan resign, sering kali ada perpaduan antara budaya kerja yang tidak sehat dan kegagalan individu dalam menemukan solusi atas tantangan yang dihadapi.

Merambahnya virus toxic di dunia kerja bukanlah hal baru, tetapi dampaknya semakin dirasakan dalam era persaingan yang semakin ketat dan tekanan untuk terus produktif. Lingkungan kerja yang toxic seringkali ditandai oleh konflik antar karyawan, komunikasi buruk, hingga kurangnya penghargaan terhadap upaya individu maupun tim. Situasi ini tidak hanya menggerogoti kesehatan mental pekerja, tetapi juga merusak produktivitas dan reputasi perusahaan.

Namun, yang sering terabaikan adalah bahwa setiap individu memiliki peran dalam menyebarkan atau mengatasi virus ini. Apakah kita tanpa sadar menjadi bagian dari masalah, atau justru hadir sebagai solusi yang menciptakan perubahan positif? Ulasan ini hendak mengajak pembaca untuk merenungkan peran kiita masing-masing dalam membentuk budaya kerja yang sehat dan kolaboratif.

Input gambar: id.pinterest.com
Input gambar: id.pinterest.com
Definisi dan Tanda-Tanda Virus Toxic di Tempat Kerja

Virus toxic di tempat kerja merujuk pada perilaku atau budaya negatif yang merusak kesejahteraan individu, menghambat kolaborasi tim, dan menurunkan produktivitas organisasi. Fenomena ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari komunikasi yang buruk hingga konflik antar rekan kerja, bahkan keputusan manajerial yang tidak adil. Virus ini tidak hanya menciptakan lingkungan yang penuh tekanan, tetapi juga mengikis rasa percaya, menghambat inovasi, dan menanamkan pola pikir negatif di antara karyawan.

Tanda-tanda keberadaan virus toxic di lingkungan kerja sering kali terlihat dari adanya gosip yang merajalela, kurangnya penghargaan terhadap kontribusi individu, hingga atmosfer kerja yang penuh dengan intrik dan persaingan tidak sehat. Komunikasi yang cenderung pasif-agresif, pengabaian terhadap ide atau masukan dari anggota tim, serta manipulasi emosional juga menjadi indikator kuat dari budaya kerja yang toxic. Dalam beberapa kasus, virus toxic ini dipicu oleh pemimpin yang otoriter atau tidak mampu menjadi role model yang positif, sehingga menciptakan lingkungan yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian.

Selain itu, budaya toxic sering kali diperparah oleh adanya tekanan kerja yang berlebihan tanpa diimbangi dengan dukungan atau penghargaan yang memadai. Karyawan yang merasa tidak dihargai, diabaikan, atau terus-menerus dikritik tanpa solusi cenderung kehilangan semangat kerja, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja mereka dan bahkan kesehatan mentalnya. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat mengarah pada burnout, tingkat turnover yang tinggi, serta reputasi buruk bagi perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun