Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Lagi dan Lagi OTT, Drama Tanpa Akhir, Apa yang Salah?

5 Desember 2024   08:13 Diperbarui: 5 Desember 2024   08:50 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: news.detik.com

LAGI DAN LAGI OTT: DRAMA TANPA AKHIR, APA YANG SALAH?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Maraknya OTT 

Operasi Tangkap Tangan (OTT) kembali menjadi sorotan, seolah menjadi drama tanpa akhir di panggung pemberantasan korupsi di Indonesia. Hampir setiap pekan, kabar penangkapan pejabat publik yang terlibat suap atau korupsi menghiasi berita utama. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apa yang salah dalam sistem kita? Mengapa korupsi terus terjadi meskipun penegakan hukum terlihat aktif?

Di satu sisi, maraknya OTT menunjukkan keberanian aparat hukum dalam memberantas korupsi, namun di sisi lain, hal ini juga mencerminkan kegagalan sistematis dalam mencegah kejahatan serupa terjadi berulang kali. Masalah ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi juga cerminan budaya birokrasi yang rentan dan sistem pengawasan yang lemah.

Berita tentang OTT terus berseliweran di media massa, menjadi topik yang seolah tak pernah usang. Penangkapan pejabat publik hingga kepala daerah yang terlibat kasus korupsi kerap menghiasi headline, mencerminkan betapa seriusnya masalah integritas di negeri ini. Setiap OTT seakan menjadi pengingat bahwa korupsi masih mengakar kuat, meskipun berbagai upaya pemberantasan terus dilakukan.

Input gambar: koransulindo.com
Input gambar: koransulindo.com
Akar Permasalahan

Menggali akar permasalahan maraknya OTT di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari budaya korupsi yang telah mengakar dalam berbagai lapisan birokrasi. Korupsi sering kali dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari "proses normal" untuk mempercepat pelayanan, memperoleh keuntungan pribadi, atau membangun jejaring kekuasaan. Dalam banyak kasus, lemahnya sistem pengawasan internal menjadi salah satu penyebab utama. 

Mekanisme pengendalian yang ada sering kali bersifat formalitas, sehingga tidak mampu mencegah tindakan ilegal sebelum terjadi.

Selain itu, rendahnya penanaman nilai integritas dan etika sejak dini, baik dalam pendidikan formal maupun dalam dunia kerja, turut memperburuk situasi ini. Dalam beberapa konteks, hukum justru menjadi alat yang dapat "dibeli," menciptakan ketimpangan penegakan keadilan dan semakin memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Di sisi lain, pejabat publik yang terlibat dalam korupsi sering kali merasa aman karena kurangnya efek jera dari hukuman yang dijatuhkan. Hukuman ringan atau vonis yang tidak sebanding dengan kerugian negara menjadi indikator bahwa pemberantasan korupsi masih jauh dari kata optimal. 

Semua ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan sekadar persoalan individu, melainkan sebuah masalah sistemik yang membutuhkan pembenahan menyeluruh, mulai dari penguatan pengawasan, reformasi birokrasi, hingga pemberdayaan masyarakat untuk turut mengawal integritas di setiap sektor.

Kritik Terhadap Penegakan Hukum

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sering kali mendapat kritik tajam, terutama terkait efektivitasnya dalam menciptakan efek jera dan perubahan sistemik. OTT yang marak terjadi kerap dianggap hanya sebagai solusi reaktif terhadap gejala korupsi, bukan pencegahan terhadap akarnya.

Selain itu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi sering kali dinilai terlalu ringan, tidak sebanding dengan kerugian negara dan dampak sosial yang ditimbulkan. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan yang "murah," sehingga tak cukup menakutkan bagi pelaku lainnya.

Upaya penegakan hukum kerap dicurigai sarat muatan politis, terutama jika penangkapan hanya menyasar individu tertentu sementara pelaku lain yang lebih besar terkesan dilindungi. Ketimpangan ini memperkuat stigma bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. 

Lemahnya koordinasi antarlembaga penegak hukum juga menjadi kendala signifikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, sering kali berjalan sendiri tanpa sinergi optimal dengan Kejaksaan atau Kepolisian, sehingga pemberantasan korupsi berskala besar menjadi sulit dilakukan secara konsisten.

Lebih dari itu, masyarakat pun mulai skeptis terhadap OTT yang berulang kali terjadi. Perlu adanya reformasi struktural, penguatan pengawasan internal, dan pembenahan sistem hukum, pemberantasan korupsi di Indonesia dikhawatirkan hanya akan menjadi drama tanpa akhir yang terus menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara.

Input gambar: homecare24.id
Input gambar: homecare24.id
Dampak dari Fenomena OTT

Mengaca terhadap fenomena OTT yang terus terjadi di Indonesia membawa dampak yang kompleks, baik bagi masyarakat maupun bagi institusi negara. Di satu sisi, maraknya OTT menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tetap berjalan, memberi harapan akan adanya penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan integritas dalam birokrasi.

Salah satu dampak utama adalah semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga negara. Setiap OTT yang melibatkan pejabat publik, kepala daerah, atau tokoh penting mempertegas pandangan bahwa korupsi telah menjadi masalah sistemik yang sulit diatasi. Hal ini tidak hanya menciptakan krisis legitimasi, tetapi juga merusak moral masyarakat, khususnya generasi muda, yang kehilangan figur pemimpin yang bisa dijadikan panutan.

Di bidang ekonomi, dampak korupsi yang terungkap melalui OTT sangat signifikan. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sering kali diselewengkan, mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan tidak optimalnya layanan publik. 

Proyek infrastruktur yang terbengkalai, layanan kesehatan yang tidak memadai, dan pendidikan yang terabaikan adalah beberapa contoh nyata dari kerugian akibat korupsi. Fenomena OTT juga dapat menciptakan ketidakpastian bagi investor asing, yang ragu untuk menanamkan modalnya karena khawatir dengan birokrasi yang tidak transparan.

Selain itu, secara sosial, maraknya OTT dapat memicu polarisasi di masyarakat. Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi yang tertangkap justru mendapat pembelaan dari kelompok pendukungnya, baik karena alasan loyalitas politik maupun hubungan kekerabatan. Hal ini menunjukkan betapa korupsi telah merusak nilai-nilai moral dan solidaritas sosial, di mana keadilan kerap dikalahkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok.

Tanpa adanya pembenahan menyeluruh, fenomena OTT berisiko menjadi normalisasi terhadap praktik korupsi, di mana masyarakat mulai terbiasa dengan pemberitaan penangkapan tanpa harapan akan perubahan nyata di masa depan. Dampak ini, jika dibiarkan, tidak hanya akan merugikan generasi saat ini tetapi juga mengancam masa depan bangsa.

 

Harapan Perubahan dan Penguatan

Harapan akan perubahan budaya birokrasi dan penguatan penegakan hukum menjadi kunci dalam memberantas korupsi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang berfokus pada integritas, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi prioritas, dimulai dari proses rekrutmen hingga pengawasan kinerja pejabat publik. Di sisi lain, penegakan hukum perlu diperkuat dengan memberikan hukuman yang tegas dan adil, sekaligus memastikan tidak ada ruang bagi intervensi politik.

Pertanyaan reflektifnya: Apakah OTT cukup untuk memberantas korupsi, ataukah ini hanya solusi sementara dari masalah yang jauh lebih mendalam? Pertanyaan ini dapat menggugah rasa tentang perlunya reformasi besar-besaran, baik dalam sistem birokrasi maupun penegakan hukum. Tanpa perubahan struktural yang menyeluruh, OTT hanya akan menjadi penanganan gejala, bukan akar permasalahan.

Mari kita jadikan fenomena OTT sebagai momentum untuk mendorong perubahan nyata dalam pemberantasan korupsi. Korupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga membutuhkan peran aktif seluruh elemen masyarakat. Kita perlu membangun budaya integritas sejak dini, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, maupun dalam dunia kerja. 

Bersama, kita bisa menekan praktik korupsi dengan mendukung transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang lebih baik di semua sektor. Saatnya kita berhenti sekadar menonton drama OTT, dan mulai berkontribusi untuk menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan adil dari segala bentuk kejahatan korupsi yang kian merajai bangsa ini.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun