Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Lagi dan Lagi OTT, Drama Tanpa Akhir, Apa yang Salah?

5 Desember 2024   08:13 Diperbarui: 5 Desember 2024   08:50 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: news.detik.com

Proyek infrastruktur yang terbengkalai, layanan kesehatan yang tidak memadai, dan pendidikan yang terabaikan adalah beberapa contoh nyata dari kerugian akibat korupsi. Fenomena OTT juga dapat menciptakan ketidakpastian bagi investor asing, yang ragu untuk menanamkan modalnya karena khawatir dengan birokrasi yang tidak transparan.

Selain itu, secara sosial, maraknya OTT dapat memicu polarisasi di masyarakat. Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi yang tertangkap justru mendapat pembelaan dari kelompok pendukungnya, baik karena alasan loyalitas politik maupun hubungan kekerabatan. Hal ini menunjukkan betapa korupsi telah merusak nilai-nilai moral dan solidaritas sosial, di mana keadilan kerap dikalahkan oleh kepentingan pribadi atau kelompok.

Tanpa adanya pembenahan menyeluruh, fenomena OTT berisiko menjadi normalisasi terhadap praktik korupsi, di mana masyarakat mulai terbiasa dengan pemberitaan penangkapan tanpa harapan akan perubahan nyata di masa depan. Dampak ini, jika dibiarkan, tidak hanya akan merugikan generasi saat ini tetapi juga mengancam masa depan bangsa.

 

Harapan Perubahan dan Penguatan

Harapan akan perubahan budaya birokrasi dan penguatan penegakan hukum menjadi kunci dalam memberantas korupsi di Indonesia. Reformasi birokrasi yang berfokus pada integritas, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi prioritas, dimulai dari proses rekrutmen hingga pengawasan kinerja pejabat publik. Di sisi lain, penegakan hukum perlu diperkuat dengan memberikan hukuman yang tegas dan adil, sekaligus memastikan tidak ada ruang bagi intervensi politik.

Pertanyaan reflektifnya: Apakah OTT cukup untuk memberantas korupsi, ataukah ini hanya solusi sementara dari masalah yang jauh lebih mendalam? Pertanyaan ini dapat menggugah rasa tentang perlunya reformasi besar-besaran, baik dalam sistem birokrasi maupun penegakan hukum. Tanpa perubahan struktural yang menyeluruh, OTT hanya akan menjadi penanganan gejala, bukan akar permasalahan.

Mari kita jadikan fenomena OTT sebagai momentum untuk mendorong perubahan nyata dalam pemberantasan korupsi. Korupsi bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi juga membutuhkan peran aktif seluruh elemen masyarakat. Kita perlu membangun budaya integritas sejak dini, baik di lingkungan keluarga, pendidikan, maupun dalam dunia kerja. 

Bersama, kita bisa menekan praktik korupsi dengan mendukung transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang lebih baik di semua sektor. Saatnya kita berhenti sekadar menonton drama OTT, dan mulai berkontribusi untuk menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan adil dari segala bentuk kejahatan korupsi yang kian merajai bangsa ini.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun