Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Reputasi Perguruan Tinggi: Fenomena Komersialisasi Gelar, Menggadaikan Makna Intelektual dan Kualitas

13 November 2024   05:21 Diperbarui: 13 November 2024   07:44 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: blogspot.co.id

Dampak lain yang tidak kalah penting adalah turunnya reputasi perguruan tinggi itu sendiri. Ketika lulusan tidak mampu memenuhi standar kompetensi yang diharapkan, kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi pun melemah. Para pemberi kerja mulai meragukan keahlian lulusan dan cenderung menilai bahwa gelar akademik tidak lagi menjadi jaminan kemampuan. Akibatnya, lulusan yang kompeten harus bersaing dengan mereka yang hanya memiliki gelar tanpa kualitas, menciptakan lingkungan kerja yang kurang produktif dan mengurangi daya saing profesional di pasar global. Penurunan kualitas pendidikan tinggi akibat komersialisasi gelar ini, jika dibiarkan, akan terus mengikis nilai-nilai akademik dan menghambat kemajuan pendidikan di masa depan.

Menggadaikan Makna Intelektual

Komersialisasi gelar di perguruan tinggi tidak hanya berdampak pada penurunan kualitas pendidikan, tetapi juga menggadaikan makna intelektual yang seharusnya menjadi jiwa dari pendidikan tinggi. Dalam lingkungan yang berorientasi pada penjualan gelar, esensi pembelajaran sejati terkikis oleh budaya instan yang lebih mengutamakan hasil akhir berupa ijazah, bukan perjalanan intelektual yang mendalam dan kritis.

Pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi, penelitian, dan pengembangan pemikiran kritis, kini berubah menjadi proses yang dangkal, terfokus pada pencapaian gelar dengan cara tercepat dan termudah. Para mahasiswa tak lagi dihargai sebagai pencari ilmu, tetapi lebih sebagai "konsumen" yang membeli produk berupa gelar. Akibatnya, dorongan untuk menggali ilmu dan melakukan eksplorasi mendalam kian berkurang, digantikan oleh budaya belajar instan yang hanya memenuhi persyaratan minimum untuk lulus.

Tidak hanya dari sisi mahasiswa, budaya komersialisasi ini juga berdampak pada dosen dan institusi pendidikan itu sendiri. Para pengajar, yang dulunya memegang peran penting sebagai mentor dan pengarah intelektual, kini sering kali dibatasi oleh kebijakan yang menuntut mereka untuk mengutamakan kelulusan mahasiswa demi memenuhi target kuantitatif yang ditetapkan oleh kampus. Proses pengajaran dan evaluasi yang seharusnya ketat dan berkualitas menjadi kendur karena tekanan untuk "mempermudah" mahasiswa dalam mencapai gelar, mengesampingkan penilaian akademik yang sebenarnya.

Dalam lingkungan yang demikian, intelektualitas kehilangan nilainya dan menjadi sekadar formalitas. Mahasiswa, dosen, dan institusi pendidikan semakin jarang merayakan proses pembelajaran mendalam, menggantinya dengan "keberhasilan" memperoleh ijazah tanpa substansi akademik yang kuat. Fenomena ini juga menciptakan efek jangka panjang yang merusak budaya akademik secara keseluruhan. Saat nilai intelektual dianggap bisa "dibeli" dan bukan dihasilkan melalui proses belajar yang disiplin dan intensif, semangat inovasi dan pemikiran kritis yang seharusnya menjadi landasan pendidikan tinggi perlahan memudar.

Perguruan tinggi, yang seharusnya berperan dalam mencetak intelektual dan pemimpin masa depan, justru menciptakan generasi lulusan yang berorientasi pada simbol prestasi tanpa kedalaman intelektual. Hal ini tidak hanya merugikan para lulusan itu sendiri, tetapi juga melemahkan kontribusi pendidikan tinggi terhadap kemajuan masyarakat dan peradaban. Menggadaikan makna intelektual demi mengejar keuntungan finansial merusak kredibilitas institusi pendidikan dan menurunkan martabat ilmu pengetahuan yang seharusnya dijunjung tinggi.

Implikasi bagi Reputasi dan Masa Depan Pendidikan Tinggi

Sudah saatnya perguruan tinggi berkomitmen untuk memulihkan nilai akademik dan mengutamakan kualitas pendidikan demi masa depan yang lebih baik. Institusi pendidikan harus kembali pada misi utamanya sebagai pusat pengembangan intelektual dan pembelajaran mendalam, bukan sekadar pabrik gelar.

Dengan memperkuat kurikulum, meningkatkan standar evaluasi, dan menekankan pentingnya riset serta inovasi, perguruan tinggi dapat membentuk lulusan yang kompeten dan siap bersaing secara global. Hanya dengan menegaskan kembali komitmen pada kualitas pendidikan, dunia pendidikan tinggi mampu memperbaiki reputasinya dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.

Di masa depan, diharapkan pendidikan tinggi dapat kembali menjadi ruang pembentukan intelektual yang autentik, bukan sekadar pasar yang memperjualbelikan gelar. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan belajar yang berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Dengan mengutamakan proses pembelajaran yang bermakna dan mendorong penelitian yang mendalam, institusi pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki gelar, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan yang relevan serta tangguh di dunia kerja. Mengembalikan esensi pendidikan tinggi sebagai tempat pembinaan intelektual juga berarti membangun generasi yang tidak hanya memenuhi tuntutan pasar, tetapi juga berperan sebagai pemikir, inovator, dan pemimpin masa depan yang berdaya saing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun