MERANGKUL KAUM DISABILITAS DALAM LEMBAGA PENEGAK HUKUM SEBAGAI CERMINAN KEADILAN SOSIAL
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di tahun anggaran 2024, menggelar penerimaan Bintara Polri dari kelompok disabilitas. Sebanyak 37 penyandang disabilitas mendaftar rekrutmen Bintara Polri Tahun Anggaran 2024. Rekrutmen penerimaan Bintara dari kelompok disabilitas merupakan yang pertama kali dilakukan, setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan kebijakan inklusif ini.Â
Untuk diketahui, dasar hukum yang digunakan dalam penerimaan anggota Polri dari kelompok disabilitas adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 27 Tahun 2021, Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 28 Tahun 2021, serta Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 29 Tahun 2021. Melalui Undang-Undang tersebut, mencerminkan upaya pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial, terutama dalam sektor pelayanan publik. Regulasi-regulasi ini bertujuan untuk memastikan kesetaraan akses, termasuk bagi kaum disabilitas, dalam berbagai bidang, termasuk kesempatan kerja di sektor pemerintahan dan lembaga penegak hukum.
Dalam mencapai keadilan sosial yang sejati, setiap elemen masyarakat harus diberi kesempatan yang sama untuk berkontribusi, termasuk kaum disabilitas. Sayangnya, diskriminasi terhadap kaum disabilitas masih sering terjadi, terutama dalam dunia kerja, di mana akses terhadap kesempatan yang setara sering kali terbatas. Salah satu sektor yang krusial dalam masyarakat, namun belum sepenuhnya inklusif, adalah lembaga penegak hukum. Penegakan hukum tidak hanya tentang kekuatan fisik dan kecakapan teknis, tetapi juga tentang representasi keadilan dan melayani semua warga negara tanpa kecuali.
Oleh karena itu, merangkul kaum disabilitas dalam lembaga penegak hukum bukan hanya soal inklusivitas, melainkan merupakan cerminan dari nilai keadilan sosial yang lebih luas. Langkah ini akan memastikan bahwa institusi penegak hukum mencerminkan keberagaman masyarakat yang mereka layani, sekaligus memperkuat integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Disabilitas dan Diskriminasi dalam Lembaga Penegak Hukum
Kaum disabilitas telah lama menghadapi berbagai bentuk diskriminasi di berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam lembaga penegak hukum. Di banyak negara, kesempatan bagi kaum disabilitas untuk bergabung dalam profesi-profesi strategis, seperti kepolisian dan kejaksaan, masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk stigma sosial yang menganggap bahwa disabilitas identik dengan keterbatasan fisik dan mental, sehingga dianggap tidak mampu menjalankan tugas yang menuntut fisik, seperti penegakan hukum.
Stigma yang melekat pada kaum disabilitas juga berperan besar dalam menciptakan hambatan kultural. Masyarakat, termasuk di dalamnya institusi-institusi formal seperti lembaga penegak hukum, masih sering memandang kemampuan seseorang dari fisiknya saja, tanpa mempertimbangkan potensi intelektual, keterampilan, dan etika kerja yang mungkin jauh lebih unggul. Hal ini menciptakan bias dalam proses seleksi, di mana calon-calon dengan disabilitas sering kali diabaikan atau dianggap tidak cocok untuk profesi tersebut, meskipun mereka memiliki kualifikasi yang memadai. Diskriminasi ini tidak hanya merugikan kaum disabilitas secara individu, tetapi juga menghalangi lembaga penegak hukum untuk mendapatkan tenaga kerja yang beragam dan mampu memperkaya pendekatan dalam menghadapi masalah-masalah kompleks di masyarakat.
Selain tantangan kultural, kebijakan perekrutan di banyak negara masih belum sepenuhnya inklusif bagi kaum disabilitas. Standar fisik yang terlalu ketat sering kali menghalangi mereka untuk lolos dari tahap awal seleksi, meskipun dalam kenyataannya, banyak pekerjaan di lembaga penegak hukum yang tidak selalu membutuhkan kemampuan fisik yang sempurna. Misalnya, ada berbagai peran administratif, investigatif, dan analitis yang dapat diisi oleh individu dengan disabilitas tanpa mengurangi efektivitas tugas lembaga tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum perlu mengkaji ulang standar perekrutan mereka, serta mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif untuk memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari kondisi fisiknya, memiliki kesempatan yang adil untuk berkontribusi dalam penegakan hukum.
Meskipun tantangan yang dihadapi kaum disabilitas dalam lembaga penegak hukum masih besar, beberapa negara telah mulai membuat langkah-langkah progresif untuk mengatasi masalah ini. Beberapa institusi penegak hukum di dunia telah mulai mengubah kebijakan mereka untuk menerima calon-calon disabilitas, bahkan menyediakan pelatihan khusus dan fasilitas yang mendukung agar mereka dapat berkontribusi secara optimal. Langkah-langkah ini tidak hanya membuka peluang bagi kaum disabilitas, tetapi juga mengirimkan pesan kuat bahwa penegakan hukum harus mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial, di mana setiap orang, tanpa kecuali, diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.