Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru - Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah membawa dunia masuk dalam pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran kepada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Paradoks: Mencintai Kepalsuan, Membunuh Kebenaran

11 Agustus 2024   10:15 Diperbarui: 11 Agustus 2024   10:21 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar : istockphoto.com

Kebencian sebagai Alat Pembunuh Kebenaran

Kebencian sering kali menjadi alat yang efektif dalam membunuh kebenaran, karena ia mampu memanipulasi emosi manusia hingga mereka menolak untuk menerima fakta yang bertentangan dengan perasaan mereka. Ketika kebencian tertanam dalam diri seseorang atau kelompok, mereka cenderung mencari dan mempercayai informasi yang memperkuat kebencian tersebut, meskipun informasi itu sebenarnya salah atau tidak berdasar.

Hoaks, yang sering kali dirancang untuk membangkitkan kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu, dengan cepat menyebar dan diterima tanpa banyak pertanyaan. Seiring waktu, kebencian yang terus dipupuk oleh hoaks tidak hanya merusak hubungan antarmanusia tetapi juga mengikis fondasi kebenaran dalam masyarakat. Kebenaran yang seharusnya menjadi landasan bersama, justru terpinggirkan oleh narasi kebencian yang lebih mudah dikonsumsi dan disebarkan.

Kebenaran sering kali menjadi korban dalam arus informasi modern karena beberapa faktor mendasar yang berkaitan dengan sifat manusia dan mekanisme penyebaran informasi di era digital. Pertama, kebenaran biasanya kompleks dan membutuhkan pemahaman yang mendalam, sedangkan hoaks atau informasi palsu sering kali disajikan secara sederhana dan menarik, sehingga lebih mudah diterima oleh publik. Dalam dunia yang serba cepat, di mana perhatian dan waktu menjadi komoditas langka, orang lebih cenderung memilih informasi yang langsung sesuai dengan apa yang mereka ingin dengar atau percayai, tanpa merasa perlu memverifikasinya.

Kedua, kebenaran sering kali menantang keyakinan atau asumsi yang sudah lama dianut oleh seseorang. Ketika fakta baru muncul yang bertentangan dengan pandangan lama, banyak orang merasa terancam dan menolak menerima kenyataan tersebut. Dalam konteks ini, kebohongan atau setengah kebenaran yang mendukung pandangan mereka menjadi lebih nyaman untuk dipercaya.

Ketiga, algoritma media sosial dan platform digital lainnya secara otomatis memprioritaskan konten yang mendapatkan banyak interaksi, terlepas dari apakah konten tersebut benar atau tidak. Ini menciptakan lingkaran setan di mana konten yang kontroversial dan sering kali salah menjadi viral, sementara informasi yang benar namun kurang sensasional tenggelam dalam lautan konten.

Keempat, kebenaran sering kali dikorbankan demi tujuan politik atau ekonomi. Dalam banyak kasus, aktor-aktor tertentu sengaja menyebarkan disinformasi untuk memanipulasi opini publik atau untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Hoaks digunakan sebagai alat propaganda untuk menciptakan narasi yang menguntungkan pihak tertentu, sementara fakta yang sebenarnya diabaikan atau bahkan diserang.

Mengatasi Paradoks: Mempertahankan Kebenaran

Untuk mengatasi paradoks mencintai kepalsuan dan membunuh kebenaran, langkah utama yang harus diambil adalah mempertahankan dan memperjuangkan kebenaran dengan lebih aktif dan sistematis. Pertama, pendidikan literasi digital perlu diperkuat agar individu mampu mengenali dan menolak hoaks, sekaligus meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Masyarakat harus diajarkan untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga untuk memverifikasi sumber dan isi informasi tersebut.

Selain itu, peran media yang bertanggung jawab sangat penting dalam menyajikan informasi yang akurat dan berimbang, serta mengoreksi informasi palsu yang tersebar luas. Platform media sosial juga harus berperan lebih aktif dalam menangkal penyebaran hoaks dengan algoritma yang lebih mendukung penyebaran kebenaran, serta menerapkan kebijakan yang tegas terhadap konten yang menyesatkan. Di tingkat individu, ada kebutuhan untuk mengembangkan budaya dialog yang terbuka, di mana orang dapat mendiskusikan perbedaan pandangan dengan sikap yang menghargai kebenaran daripada kebencian.

Kebenaran adalah fondasi dari masyarakat yang sehat dan berkeadilan. Tanpa kebenaran, kepercayaan antarindividu dan institusi hancur, membuka jalan bagi ketidakadilan, konflik, dan perpecahan. Dalam setiap tindakan dan keputusan, kebenaran harus selalu menjadi landasan utama, karena hanya dengan menjunjung tinggi kebenaran, kita dapat membangun komunitas yang harmonis, adil, dan berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun