Tindak pidana korupsi yang sering didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan personal, pada dasarnya ialah masalah ketidakadilan sosial. Dimitri Vlassis mengatakan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang ataupun negara maju semakin frustasi dan menderita karena ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.
Pada dewasa ini perkembangan tindak pidana korupsi disertai dengan tindak pidana lain yang berkaitan dengan penyembunyian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi, dan salah satu cara penyembunyian harta kekayaan adalah melalui mekanisme pencucian uang.
Mekanisme penyitaan harta benda akibat tindak pidana korupsi di Indonesia sudah ada dalam KUHP, KUHAP, UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, instrumen hukum internasional juga telah diadopsi untuk meningkatkan upaya penyitaan aset pelaku korupsi, seperti UNCAC yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi pada tanggal 18 April 2006.
Upaya mengurangi kerugian Negara akibat korupsi salah satunya dengan melakukan penyitaan aset guna mengembalikan kepada Negara jumlah aset yang telah dikorupsi. Permasalahannya adalah ketika aset tersebut mengalir keluar negeri sehingga sangat sulit untuk dilakukan tracing, ataupun penyitaan. Kesulitan ini ditambah juga dengan belum adanya kekuatan hukum nasional yang mengatur masalah tersebut.
Indonesia membutuhkan undang-undang dengan kekuatan hukum yang lebih kuat dan mekanisme khusus untuk penyitaan harta dan aset yang diduga diperoleh melalui hasil korupsi. Pemerintah dan parlemen dapat didesak untuk segera mendorong pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset.
Pentingnya keberadaan UU yang mengatur mengenai penyitaan aset, mekanisme dan lembaga yang terkait dalam penyitaan aset. Sejauh ini Mekanisme penyitaan dan pengelolaan aset hasil tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur yaitu secara pidana yaitu melalui putusan pengadilan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor yang menyatakan bahwa penyitaan aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi merupakan sanksi pidana tambahan sebagai upaya pemulihan kerugian negara akibat yang ditimbulkan pelaku dan melalui hukum perdata yaitu melalui gugatan secara perdata (civil provedure) dengan mengacu pada Pasal 32, 33, 34, 38 C UU Tipikor yang pada intinya menyatakan bahwa apabila setelah putusan pengadilan ditemukan kerugian negara maka negara atau instansi yang dirugikan dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H