Kasus tindak pidana pemilu yang diproses oleh Bareskrim Polri selama Pemilu 2024 menunjukkan keragaman bentuk pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilihan umum di Indonesia. Dari total 75 temuan dan laporan, sebanyak 17 kasus dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu, dengan jenis pelanggaran yang paling banyak adalah pemalsuan, diikuti oleh politik uang, kampanye di tempat ibadah, dan perusakan alat peraga kampanye.Â
Menurut teori tindak pidana, pelanggaran pemilu seperti pemalsuan dokumen dan politik uang mencerminkan kejahatan yang merusak integritas dan keadilan proses pemilihan, yang seharusnya berjalan dengan jujur dan adil. Pemalsuan, sebagai tindakan memanipulasi dokumen atau informasi untuk keuntungan tertentu, mengganggu prinsip dasar kepercayaan dan transparansi dalam pemilu.
Â
Politik uang, atau pembelian suara, adalah bentuk korupsi yang langsung mempengaruhi hasil pemilu dengan cara yang tidak sah. Menurut teori deterrence dalam hukum pidana, penegakan hukum yang tegas dan pemberian sanksi yang berat terhadap pelaku politik uang diharapkan dapat mengurangi insiden serupa di masa depan, dengan memberikan efek jera (Denniagi, 2021).Â
Selain itu, teori hukum pemilu menekankan pentingnya kebebasan dan keadilan dalam kampanye politik, di mana penggunaan tempat ibadah untuk kampanye atau melibatkan pihak yang dilarang kampanye merupakan pelanggaran serius terhadap aturan yang menjamin netralitas dan ketertiban dalam proses pemilu.
Â
Dari 17 kasus yang ditangani, empat kasus telah divonis bersalah dengan enam terpidana, menunjukkan keberhasilan sebagian dalam proses penegakan hukum. Namun, adanya satu kasus yang dinyatakan bebas karena kedaluwarsa dan dua kasus yang dihentikan karena kurangnya bukti menunjukkan tantangan dalam pengumpulan bukti dan efektivitas penanganan kasus tindak pidana pemilu.Â
Teori penegakan hukum juga menyoroti pentingnya kerjasama antara berbagai lembaga, seperti Bareskrim dan Bawaslu, untuk memastikan semua laporan dan temuan pelanggaran pemilu dapat ditindaklanjuti dengan tepat.
Â
Selain itu, fakta bahwa Bawaslu RI belum meneruskan kasus tindak pidana ke Bareskrim mengindikasikan potensi keterbatasan koordinasi di tingkat nasional. Efektivitas penegakan hukum pemilu membutuhkan sinergi antara berbagai level Bawaslu dan aparat penegak hukum, serta komitmen bersama untuk menjaga integritas pemilu.Â
Dengan demikian, penanganan tindak pidana pemilu yang tegas dan transparan tidak hanya akan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, tetapi juga mendorong partisipasi politik yang lebih sehat dan adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H