Pada tahun 1965, tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila. Sekelompok rakyat Indonesia menghianati bangsanya sendiri. Rakyat di doktrin untuk melawan pemimpinya. Dibodohi, dicekoki dengan segelintir pernyataan-pernyataan pedas tentang negrinya sendiri. Pancasila digulingkan. Diturunkan dari singgasananya. Peristiwa menyeramkan yang pernah terjadi di negeri ini. Darah menggenangi jagad negeri ini, pembantaian, pembunuhan orang-orang tak berdosa. Kala itu, cahaya negeri ini sirna ditelan oleh kekejaman rakyatnya.
Begitu pula dengan malam 30 September di tahun ini, 2014. Seakan sengaja mengenang tragedi keji itu. Jogja, kota dengan kekentalan budayanya. Yang telah menjadi saksi berdirinya Indonesia. Menenggelamkan sinarnya, menyisakan kegelapan bak sebuah langit tanpa bintang. Ya, jogja dengan segala keindahanya, menjadi sebuah kota tak bernyawa tanpa cahaya yang menyinarinya. Lampu-lampu, jalanan kota redup tanpa sinar. Gedung-gedung dan rumah warga pun membisu. Sebagian dari rakyat diam pasrah menunggu harapan. Sebagian lain mencari solusi untuk menghidupkan kembali kota Yokyakarta. Seperti gambaran masa lalu, dimana para pejuang berjuang membela bangsa dan negaranya dan para rakyat menunggu datangnya sebuah harapan. Tenggelamnya cahaya ini berlangsung cukup lama, menghambat sebagian pekerjaan rakyat. Sebagian pengendara kendaraan roda dua dan pengendara kendaraan roda empat merapat di ujung jalan menunggu cahaya datang kembali. Bahkan, para pengunjung sebuah pusat perbelanjaan tidak dapat melanjutkan aktifitasnya karena keterbatasan cahaya. Karena terlalu lama, warga resah dan hanya pasrah. Setelah semuanya pulih kembali, terjadi kemacetan yang cukup lama pula. Entah pengendara kendaraan roda dua atau empat, semua bergegas kembali menjalani rutinitas masing-masing. Semua orang kembali dengan keceriaanya. Keindahan Kota Yokyakarta muncul kembali, cahaya telah menyinari seisi kota ini kembali. Jogja kembali hidup. Suara-suara rakyat kembali mengisi kekosongan kota ini. Rakyat dapat kembali dengan rutinitasnya. Para pekerja juga dapat kembali bekerja. Para pelajar dapat kembali belajar. Sebenarnya, apa maksud dari pemadaman cahaya ini? Kejadian ini menjadi sebuah pelajaran, sebuah pelajaran tentang hidup ini. Bahwa, Tuhan mengatur hidup kita dengan tahun, bulan, minggu, hari, jam, dan detik, agar setiap detik kehidupan yang kita jalani berharga.
Namun, apa salahnya jika kejadian ini kita jadikan pelajaran, kita tengok kembali bangsa dan negeri ini. Bukankah dengan semua ini kita seharusnya merenungkan negeri ini? Memperbaiki keadaan negeri ini, dan mensyukuri nikmat Tuhan atas segala yang telah Dia beri? Hidup, bukan berarti hanya bernafas, bukan berarti hanya makan dan minum. Tapi hidup, berarti memberi, mengamalkan segala yang telah kita dapatkan untuk negeri ini. Karna dari negeri ini kita belajar, dari negeri ini kita mengerti dan dari negeri ini kita berawal.
Ya, seharusnya artikel ini diposting tepat pada tanggal 30 September 2014 kemarin. Namun, karena keterbatasan sarana saya baru dapat menyelesaikan artikel ini. Awalnya saya sangat kesal dengan keadaan yang saya hadapi. Banyak hal yang tak sesuai dengan keinginan saya. Bahkan emosi saya mulai geram, berontak ingin keluar dari dalam diri saya. Dan akhirnya dengan keinginan yang besar dan tekad yang bulat saya memulai semua ini dari sebuah perasaan kecewa yang tiada terkira. Atas izin-Nya pada akhirnya saya dapat menyelesaikan satu buah artikel ini. Puji syukur Allah atas segala nikmat-Nya. Karena bukan kenyamanan yang mencari kita, namun kita yang membuat keadaan itu nyaman. Maka, jangan terlena dengan kesementaraan, karna yang sementara itu tak akan pernah abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H