Jum'at, 22 Maret 2024 - Future Skills merupakan sebuah platform belajar yang menyajikan berbagai program kuliah dan kelas online bersertifikat bagi pelajar Indonesia untuk bisa mengembangkan dan menambah berbagai skill penting di luar kampus. Tema dari program dan kelasnya pun beragam, mulai dari program persiapan karir, finansial, leadership, bisnis dan masih banyak lagi. Yang tentunya 95% dari program atau kelas di Future Skills ini dapat diakses secara gratis bagi siapa saja. Salah satunya adalah event Wander and Wonder : Melawat dan Merawat Kotabaru by Future Skills kali ini. Event ini merupakan kolaborasi perdana Future Skills bersama dengan komunitas Walk The Past Jogja, dimana Future Skills ingin mengajak para peserta untuk menelusuri dan mengeksplorasi sudut Kotabaru sebagai ex wilayah hunian elit Belanda yang memisahkan diri dari Yogyakarta. Disini peserta diajak untuk berkeliling di tempat-tempat yang menyimpan sejarah di Kotabaru, mulai dari Rumah sakit Bethesda, Gramedia Sudirman, Stadion Kridosono, RS Mata Dr. Yap sambil bercerita dan memperhatikan lebih dalam setiap detail bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Kotabaru.Â
Daerah Kotabaru yang kita lihat menarik dengan bentuk bangunannya yang khas dan terlihat estetik bagi sebagian orang ini, ternyata menyimpan berbagai cerita masa lalu yang menarik di dalamnya. Setiap tempat yang peserta kunjungi memiliki berbagai kilas balik cerita di baliknya. Tempat pertama yang dikunjungi oleh para peserta adalah Rumah Sakit Bethesda
Rumah sakit ini dahulu diberi nama "Zendings Ziekenhuis Petronelle" yang pendiri nya adalah seorang dokter bernama Dr. Jan Gerrit Scheurer. Dibawah yayasan organisasi misionaris Zending Gereformeerde Amsterdam yang dipimpin oleh dr. F.L Rutgers, maka rumah sakit ini mulai dibangun pada 20 mei 1899 yang berlokasi di persil yang diberikan oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Konon ceritanya, awal dibangunnya Rumah sakit Petronelle ini juga sebagai salah satu misi penyebaran agama kristen di masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan di wilayah Yogyakarta.  Maka tidak heran ya, jika pendanaan pembangunan Rumah Sakit Petronelle atau Bethesda ini langsung dibawah yayasan keagamaan Kristen. Lalu dari mana asal nama Petronelle?  Ya, nama "Petronelle" diambil dari nama istri seorang pensiunan pendeta bernama Coevorden Andriani yang memberikan bantuan uang untuk membangun Rumah Sakit ini. Masyarakat sekitar di masa itu mengenal Rumah Sakit ini dengan nama "Dokter Tulung" atau "Dokter Pitulungan".Â
Selanjutnya, para peserta juga diajak untuk berjalan menyusuri jalan di Kotabaru sambil memperhatikan dan melihat bangunan-bangunan rumah peninggalan Belanda, yang beberapa sudah beralih fungsi menjadi toko-toko, kantor, bahkan sekolah. Yang menjadikan vibes atau suasana di kawasan Kotabaru menjadi berbeda, tentunya artistik bangunan di kawasan ini yang kebanyakan masih terjaga dan dirawat tanpa merubah banyak bentuk aslinya. Â Namun tak dapat dipungkiri, jika bangunan-bangunan inilah yang menjadi saksi bisu ganasnya krisis ekonomi Malaise di tahun 1920-1930 akhir. Sekitar 100 tahun yang lalu Hindia Belanda dilanda krisis ekonomi besar yang tentunya juga berdampak bagi masyarakat Indonesia juga saat itu. Hancurnya tatanan ekonomi dunia berdampak langsung terhadap Hindia Belanda, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Sehingga banyak negara menjadi miskin, kelaparan, daya beli lemah, kelebihan produksi, pengangguran bertambah dan kriminalitas terjadi dimana-mana. Yogyakarta menjadi salah satu yang terkena dampak serius dari krisis ini. Rumah di Kotabaru banyak yang menjadi korban pencurian, bahkan perampokan.Â
Satu lagi tempat yang tak kalah legendaris di Kotabaru, menjadi tempat yang menyimpan sejarah menarik dan masih beroperasi dengan baik hingga sekarang. Bahkan keberadaannya membantu banyak masyarakat di Yogyakarta pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dahulu. Rumah Sakit Dr.Yap, yang didirikan oleh seorang dokter keturunan Tionghoa bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Beliau mengabdikan dirinya di tanah air usai menyelesaikan studi kedokterannya di Belanda. Berawal dari dirinya yang membangun sebuah poliklinik mata di daerah Gondolayu, hingga kemudian harus beralih karena situasi dan kondisi bangunan yang tidak memadai menjadikan Dr. Yap memutuskan untuk membangun rumah sakit. Rumah sakit ini berhasil dibangun melalui bantuan dari organisasi  bernama Centrale Vereeniging tot Bevordering der Oogheelkunde in Nederlandsch Indie (CVO) atau Asosiasi Pusat Promosi Optalmologi Hindia Belanda serta bantuan dari pihak-pihak lainnya. Hingga berhasil didirikan tepat pada tanggal 12 November 1922, kemudian diresmikan pada tanggal 29 Mei 1923 dengan nama Prinses Juliana Gasthuis Voor Ooglijders yang diartikan dalam Bahasa Indonesia berarti Rumah Sakit Putri Juliana Untuk Penderita Penyakit Mata. Dan pada tahun 1942 di masa penjajahan Jepang, rumah sakit ini berganti nama menjadi RS. Mata Dr. Yap sampai hingga saat ini.
Kemudian tempat terakhir yang kami peserta kunjungi adalah Station Kridosono, yang merupakan stadion pertama di Yogyakarta. Lapangan ini berdiri menjadi stadion sepak bola sejak tahun 1937, atas inisiatif dari Jogja Voetbalbond (pra PSIM) dengan dana dari bantuan Keraton Yogyakarta yang keseluruhan telah menghabiskan biaya sebesar 9.000 gulden. Dahulu disebut sebagai Stadion Bijleveld, diambil dari nama gubernur Belanda di Yogyakarta Johannes Bijleveld (1934-1939). Terinspirasi dari namanya karena Dia merupakan seorang penggemar olahraga dan banyak melakukan renovasi di  ke-olahragaan. Stadion Bijleveld ini juga sempat menjadi markas dari Voetbal Bond Djokja en Omstreken, klub sepakbola Belanda di Yogyakarta dan PSIM (Persatuan Sepak Bola Mataram) dan hingga akhirnya berubah menjadi Kridosono hingga saat ini. Bentuk bangunan yang terbilang masih terjaga dan tidak banyak perubahan, kecuali bagian tembok pembatas stadion yang dahulu lebih pendek sehingga ketika ada pertandingan sepak bola juga bisa dinikmati oleh masyarakat biasa. Bahkan konon ceritanya, dahulu para tukang becak yang kesulitan ikut menonton karena sesaknya penonton, rela bersusah-payah menaikkan becaknya diatas tembok untuknya agar tetap bisa ikut menikmati pertandingan sepak bola. Hingga saat ini Stadion Kridosono masih aktif beroperasi dengan baik, entah untuk aktivitas olahraga, pertandingan hingga tak jarang juga digunakan untuk kegiatan konser.Â