Gus Miftah, selaku tokoh agama yang mengejek penjual es teh membuat video klarifikasi dan permintaan maaf bersama son haji, penjual es teh. Beberapa hari lalu telah beredar potongan video singkat yang menunjukkan seorang pedagang es teh dan minuman botol diejek dan dipermalukan di depan umum oleh salah seorang yang dianggap sebagai tokoh agama. Melihat fenomena yang sangat miris ini saya terpancing untuk menulis artikel ini. Tentunya banyak netizen yang mengutuk perbuatan ini. Karena sudah jelas, orang berpendidikan paling dasar pun akan tahu bahwasanya perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang bisa dibenarkan dalam konteks apa pun. Setelah video tersebut viral,
Dalam artikel ini saya akan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Fenomena ini bisa dikaji dari hubungan antara bahasa, masyarakat, dan konteks sosial. Dalam hal ini, ujaran yang bersifat mengejek tidak hanya merefleksikan perilaku individu, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, kekuasaan, dan norma budaya dalam masyarakat. Menurut teori kekuasaan dalam bahasa yang digagas oleh Pierre Bourdieu, bahasa adalah "modal simbolik" yang mencerminkan dan memperkuat relasi kekuasaan dalam masyarakat. Bahasa digunakan oleh individu atau kelompok dominan untuk mempertahankan status sosial mereka. Di mana dalam kasus ini Gus Miftah, sebagai tokoh publik dengan status sosial yang tinggi, menggunakan bahasa dalam posisi dominan. Ujaran mengejek yang diarahkan kepada profesi penjual es teh mencerminkan hierarki sosial yang masih kental di masyarakat, di mana pekerjaan tertentu dipandang rendah yaitu penjual es teh. Ejekan tersebut, sadar atau tidak, menegaskan superioritas sosial melalui bahasa. Dalam konteks ini, penjual es teh ditempatkan dalam posisi subordinat, yang memperlihatkan adanya ketimpangan kekuasaan dalam komunikasi. Ejekan seperti itu hanya akan dilontarkan dari orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah dalam masyarakat.
Teori sosiolinguistik yang selanjutnya adalah teori fungsi pragmatik, ilokusi dan perlokusi oleh J.L. Austin yang dikembangkan oleh John Searle. Ilokusi adalah maksud pembicara, sedangkan perlokusi adalah dampak ujaran tersebut terhadap pendengar. Dilihat dari perspektif pragmatik ini, ujaran Gus Miftah memiliki dimensi ilokusi (niat pembicara) dan perlokusi (efek pada pendengar). Jika dilihat sebagai humor, ilokusi dari ujaran tersebut mungkin bermaksud mencairkan suasana, hal ini terbukti ketika orang-orang yang berada di samping Gus Miftah tertawa terbahak-bahak. Namun, perlokusi atau dampak yang terjadi di masyarakat sangatlah berbeda. Dampak yang ditimbulkan justru keresahan, kemarahan, dan perasaan terhina bagi mereka yang merasa direpresentasikan oleh profesi pak son haji, atau profesi sejenisnya. Ketidaksesuaian antara ilokusi dan perlokusi ini menunjukkan bahwa ujaran tersebut gagal dalam konteks pragmatik, ujaran yang niatnya untuk humor dan candaan justru diterjemahkan sebagai ejekan yang merendahkan profesi penjual es teh. Hal ini juga terlihat ketika Pak Son Haji tidak tertawa dengan candaan tersebut. Dari raut wajahnya tersimpan rasa sakit hati yang mendalam dan beliau berusaha menghela napas untuk meredam emosi dan menahan rasa malu. Begitu juga dengan yang dipahami oleh masyarakat setelah video tersebut viral.
Dalam teori lain yang masuk dalam kajian ini juga adalah teori identitas sosial yang digagas oleh Henri tajfel. Dalam teori ini dijelaskan bahwa bahasa dapat membentuk dan memperkuat identitas kelompok. Sehingga bahasa dapat memperkuat atau menantang stigma sosial. Dalam kasus ini, ejekan terhadap profesi penjual es teh memperkuat stigma terhadap pekerjaan pedagang asongan yang sering dipandang rendah. Ditinjau dari perspektif ini, penggunaan bahasa yang merendahkan suatu kelompok sosial dapat menciptakan "othering," yaitu proses memisahkan kelompok tertentu dari identitas sosial yang dianggap bermartabat. Sehingga hal ini membuat kelompok tertentu, yaitu pedagang asongan, ditempatkan sebagai kelas sosial yang lebih rendah, dan hal ini juga semakin memperkuat stigma mereka. Sementara itu, penjual es teh adalah bagian dari masyarakat yang memiliki kontribusi nyata dalam roda ekonomi mikro. Ejekan tersebut, meskipun tampak sederhana, namun bisa berakibat fatal terhadap struktur masyarakat. Bahasa, melalui ejekan ini, bisa menghapus pengakuan atas peran penting mereka dalam struktur masyarakat.
Beranjak ke media sosial, dalam teori publisitas linguistik yang digagas oleh Norman Fairclough dalam analisis wacana kritis, Norman menyatakan bahwa bahasa di media publik, termasuk media sosial, tidak hanya sebatas digunakan untuk komunikasi semata, tetapi juga mencerminkan ideologi dan kekuasaan. Bahasa yang digunakan oleh Gus Miftah menjadi kontroversial ketika video tersebut disebarluaskan di media sosial dan menjadi viral. Media menjadi tempat berkumpul berbagai macam individu yang memiliki pemikiran dan interpretasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, ketika bahasa sudah tersebar ke ruang publik yang plural maka konsekuesinya adalah bahasa tersebut akan diinterpetasikan oleh publik, dan opini mayoritas yang akan menjadi acuan untuk menilai sebuah bahasa, bukan lagi maksud individu. Ujaran tersebut juga bisa diexploitasi untuk agenda tertentu untuk menciptakan gelombang reaksi yang lebih luas dan besar. Hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang menandatangani petisi mundurnya Gus Miftah dari utusan khusus presiden dan pada akhirnya beliau mengundurkan diri.
Setelah huru hara yang berlangsung, maka akan ada rekonsiliasi sosial, teori yang mendasari adalah teori performatif bahasa oleh Jodith Butler. Ia menyatakan bahwa bahasa bersifat performatif, ia dapat menciptakan realitas sosial tertentu. Bahasa memiliki kekuatan untuk membentuk, mengubah, atau bahkan menghancurkan relitas sosial. Viralnya fenomena ini membuka peluang untuk merefleksikan peran bahasa dalam menciptakan harmoni sosial. Ketika Gus Miftah mengejek profesi penjual es teh, tindakannya bukan hanya sekedar candaan, tapi juga merupakan tindakan performatif yang dapat memperkuat stigma sosial. Sehingga ejekan tersebut akan berakibat juga kepada penjual es teh di tempat lain. Dalam konteks sosiolinguistik, seorang tokoh seperti Gus Miftah memiliki tanggung jawab untuk menggunakan bahasa yang inklusif dan menghormati semua lapisan masyarakat karena bahasa adalah alat yang sangat kuat dalam membentuk persepsi dan realitas sosial, jika digunakan dengan bijak. Oleh karena itu, setelah viralnya video tersebut, bapak Prabowo dalam pidatonya mengatakan "saya sangat hormat sama pedagang kaki lima" untuk membangun kembali kehormatan semua profesi. Perkataan tersebut memiliki potensi performatif untuk menciptakan kembali penghormatan terhadap profesi pedagang kecil.
Fenomena Gus Miftah ini menunjukkan bagaimana bahasa tidak pernah netral; ia membawa muatan sosial dan kekuasaan. Dalam interaksi sosial, terutama di ruang publik, penggunaan bahasa yang merendahkan dapat memperkuat stigma dan ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, penting bagi tokoh publik, terutama yang memiliki banyak pengikut seperti Gus Miftah untuk memiliki kesadaran sosiolinguistik dalam menyampaikan ujaran mereka, demi menjaga keharmonisan dan rasa saling menghormati di masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI