Mohon tunggu...
Vee Anggraini
Vee Anggraini Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang gadis biasa yang merangkap sebagai mahasiswi, agen muslimah, agen penggebrak bangsa, dan seorang pemimpi ulung.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Review: "Edensor" yang Bukan Edensor

25 Desember 2013   23:02 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan: Untuk yang belum pernah menonton ataupun membaca novel Edensor, terdapat isi cerita dari kedua media tersebut di review ini.

Laskar Pelangi 2 : Edensor

[caption id="attachment_311274" align="alignleft" width="240" caption="Source : 21cineplex.com"][/caption]

Genre : Drama

Duration : 90 minute

Distributor : Mizan Production, Falcon Pictures

Producer : Putut Widjanarko, Avesina Soebli

Director : Benni Setiawan

Writer : Benni Setiawan

Cast : Lukman Sardi, Abimana, Astrid Roos, Mathias Muchus, Rendy Akhmad, Zulfani

Review and Opinion:

Jujur, saya kaget ketika mendengar bahwa film “Laskar Pelangi 2: Edensor” akan ditayangkan akhir tahun ini. Mungkin memang saya yang sedang tidak update (karena sedang mengalami euphoria mahasiswa baru), tapi banyak juga teman-teman saya yang tidak mengetahui bahwa film ini akan segera tayang. Setelah membaca mengenai perkembangan pembuatan film ini, hati saya mulai was-was. Ternyata dalam perkembangannya  terdapat pergantian sutradara, produser dan scriptwriter (awalnya disutradarai Riri Riza, diproduseri oleh Mira Lesmana, dan skenarionya ditulis oleh Salman Aristo, Riri Riza dan Mira Lesmana) serta pergantian pemeran Arai (awalnya diperankan oleh Nazril Irham atau Ariel ‘NOAH’, namun digantikan oleh Abimana Aryasatya – pemeran Rangga dalam “99 Cahaya di Langit Eropa”). Setelah menonton trailernya, saya kembali dibuat was-was karena dalam trailer fokus ceritanya justru ada di kisah cinta Ikal dengan kekasih bulenya, Katya. Saya juga sempat dibingungkan dengan judul film ini karena adanya embel-embel “Laskar Pelangi 2”: Apakah ini hanyalah ajang untuk mempromosikan film ini agar menjadi sehit Laskar Pelangi? Lalu bagaimana dengan Sang Pemimpi yang notabene adalah prekuel langsung dari film ini?

Dengan segala kewas-wasan tersebut, saya menonton film “Laskar Pelangi 2: Edensor” tepat satu hari setelah penayangan perdananya. Setelah selesai menonton, ternyata memang benar dugaan saya. Ekspetasi saya akan film ini benar-benar tidak terpenuhi. Sebagai pembaca novel yang menjadi bahan adaptasinya, imajinasi saya akan kegilaan cerita ini tidak tersalurkan di film. Sebagai penonton film, saya merasa tertipu dengan judulnya. Singkatnya, saya amat, sangat, kecewa.

Hal yang paling saya pertanyakan dalam film ini adalah satu: mana Edensor nya? Dalam novel, desa Edensor yang digambarkan dengan indah itu hanya disajikan dalam bentuk narasi ketika Ikal mengingat A Ling. Visual yang menemani narasi tersebut justru menyajikan pemandangan sudut kota Paris, bukan desa Edensor (correct me if I’m wrong here, karena saya hanya melihat Edensor dari foto-foto hasil searching saja, hehe). Bahkan kata ini hanya disebut dalam satu scene saja, sehingga esensi dari utama dari film ini hilang. Permasalahan ini sama halnya dengan novel “Maryamah Karpov” (lanjutan dari Edensor) yang hanya disebut dalam satu paragraf, namun justru menjadi tokoh utama di novel “Padang Bulan” dan “Cinta dalam Gelas”.

Dari segi alur cerita, banyak sekali hal yang dipangkas dari novel maupun diubah. Mungkin durasi film yang singkat, yaitu 90 menit dan low-budget menjadi masalahnya, mengingat walaupun novel Edensor memiliki jumlah halaman paling sedikit (290 lembar), tapi ceritanya memiliki beragam lokasi yang susah untuk difilmkan. Permasalahan yang cukup menonjol yaitu tidak adanya cerita mengenai Ikal dan Arai yang melakukan backpacking keliling Eropa selama musim panas dan pada akhirnya menemukan desa Edensor, padahal justru cerita inilah yang menjadi kisah utama dalam novel (dan yang menjadi latar belakang judul Edensor). Film “Laskar Pelangi 2: Edensor” justru menceritakan tentang kehidupan Ikal dan Arai, percintaan Ikal, dan konflik antara Ikal dan Arai. Dua poin terakhir ini pun murni plot film, sehingga benar-benar membingungkan penonton yang sudah pernah membaca novelnya. Bahkan konflik Ikal-Arai sempat membuat saya kaget, apalagi dengan kata-kata Arai, “Keliling Eropa? Sudah kucoret mimpi itu!” Kata-kata dashyat Arai, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu,” tidak dibawakan dengan dashyat. Film ini seolah-olah hanya mengadaptasi 23 mozaik pertama (itupun tidak sepenuhnya), sedangkan 21 mozaik berikutnya (yang menurut saya adalah bagian utama dari novel ini) dihilangkan sepenuhnya.

Selain tentang plot utama tersebut, cerita-cerita sampingan mengenai The Pathetic Four dancerita Ikal dan Weh tidak diceritakan secara mendalam. Adegan membekunya Arai dan Ikal di Brugge yang menjadi opening film ini juga tidak ditampilkan sedahsyat novelnya, namun inti dari adegan ini tersampaikan. Cerita-cerita sampingan lainnya seperti karakter mahasiswa-mahasiswa di kelas Ikal, kisah nama Ikal, dan kisah tentang Anggun C. Sasmi tidak ditampilkan di film ini. Kisah cinta Arai pun tidak dibahas sepenuhnya. Adegan kerinduan Arai terhadap Zakiah Nurmala yang dilampiaskan di makam Jim Morrison disampaikan secara berbeda di film, karena kegilaan cinta Arai terhadap Zakiah ditampilkan dengan biasa saja di film ini. Kisah cinta Ikal lah yang justru menjadi sorotan di film ini, yaitu kisah cintanya dengan Katya dan A Ling (yang entah kenapa muncul di film ini).

Dari segi emosi cerita, beberapa adegan berhasil menggugah penonton, baik itu berupa tawa, sedikit untaian air mata, maupun suspense yang ada. Humor-humor yang ada diselipkan dengan baik, seperti percakapan antara Adam Smith, Ikal dan Rhoma Irama, serta kisah antara Arai dan Ikal yang hampir saja mengundang air mata jika tidak diakhiri dengan pernyataan, “Aku kuat jalan karena aku sudah pernah paksin boi.” Beberapa adegan juga sukses mengundang air mata, yaitu adegan mengenai kondisi ayah Ikal yang semakin susah semenjak runtuhnya PT Timah, Ikal yang mengingat nasihat ayahnya untuk tidak meminum alkohol dan berzina ketika mendapat godaan dalam bentuk seorang gadis bernama Katya, serta Ikal yang mengingat kenangannya bersama Arai ketika terjadi pertengkaran di antara mereka. Suspense yang ada muncul dari konflik antara Ikal dan Arai serta pertemuan Ikal dan A Ling yang hampir saja terjadi (yang menurut saya dibawakan ala sinetron, seperti A Ling yang pergi ketika Ikal dating ke apartemennya). Penonton film yang bukan pembaca novel ini akan sangat terbawa dengan adegan ini, namun bagi pembaca novel, adegan tersebut justru menjadi aneh karena A Ling seharusnya tidak pernah mengirimkan surat ke Ikal dan Ikal tidak menemukan jejak asli A Ling di Prancis, bahkan Eropa. Apalagi pada akhir film muncul sang pengarang novel itu sendiri, yaitu Andrea Hirata, yang berperan sebagai plot device untuk menutup cerita di film yang sebenarnya masih berlanjut itu.

Dari segi visual, pemandangan kota Paris dan dinamika kehidupan mahasiswa di Universitas Sorbonne juga ditampilkan dengan baik sebagai peneman narasi Ikal. Namun, jika dibandingkan dengan film “99 Cahaya di Langit Eropa” yang juga menampilkan pemandangan Eropa (dan juga Paris), film “Laskar Pelangi 2 : Edensor” memiliki kualitas visual di bawahnya.

Dari segi musik, soundtrack yang hadir sudah cukup baik. Hanya saja, soundtrack yang hadir justru lebih banyak yang berkesan Melayu dibandingkan dengan Eropa. Terdapat lagu yang dimasukkan dalam beberapa adegan juga dimainkan pada saat yang tepat, yaitu lagu “Negeri Laskar Pelangi” yang dibawakan oleh Meda Kawu (versi slow) dan Cut Niken (versi Melayu). Lalu bagaimana dengan lagu yang dibawakan Coboy Junior, mantan pemeran Musikal Laskar Pelangi, yang sempat digembor-gemborkan di media itu? Mungkin karena saya bukan penggemarnya, namun sepanjang film saya tidak mendengar lagu ini. Saya tidak tahu apakah lagu ini diputar pada saat credit, karena ketika credit roll berjalan bioskop di tempat saya justru memotongnya (maklum, bioskop lokal).

Dari segi pemeran, baik Ikal yang dibawakan oleh Lukman Sardi dan Arai yang dibawakan oleh Abimana berhasil membawakan perannya dengan baik. Mungkin karena dalam cerita ini keduanya sudah beranjak dewasa, namun kekentalan logat Melayu terasa berkurang dibandinkan kedua film sebelumnya. Hanya kata-kata Boi yang mengingatkan saya bahwa kedua karakter ini adalah anak asli Belitong. Lukman Sardi berhasil memainkan Ikal yang terlihat sangat kaku ketika menjalin hubungan dengan Katya serta kebimbangan yang selalu melanda. Abimana yang menggantikan Nazril Irham atau yang lebih dikenal dengan Ariel “NOAH” juga berhasil membawakan Arai yang sangat karismatik, memiliki ideal tinggi, dan agak gila dalam kecintaannya terhadap Zakiah Nurmala (meski hanya ditampilkan sekilas). Namun karena saya melihat sosok Abimana sebagai Rangga dalam film “99 Cahaya di Langit Eropa”, saya lebih menyukai peran Rangga dibandingkan Arai. Mathias Muchus sebagai ayah Ikal juga berhasil membawakan perannya, terlebih-lebih setiap adegan yang berkaitan dengannya pasti berhasil menggugah emosi penonton. Kritik mengenai Lukman dan Abimana justru berasal dari penampilan mereka yang dianggap terlalu tua untuk memainkan Ikal dan Arai (menurut sebagian penonton).

In summary, film ini jauh berada di bawah ekspetasi saya. Mungkin memang saya yang memiliki ekspetasi tinggi, terlalu imajinatif atau kata-kata Andrea Hirata yang terlalu apik sehingga tidak bisa diangkat ke media visual, tapi setelah melihat film ini saya merasa sangat kecewa. Semangat Edensor di dalam novel tidak tersampaikan di dalam film, sedangkan semangat yang dibawa oleh film ini terkesan setengah-setengah saja. Mungkin kekecewaan saya dapat terobati apabila film ini sebenarnya adalah bagian pertama, sedangkan kisah travelling Ikal dan Arai berada di bagian dua. Siapa tahu akan terjadi, meskipun sampai saat ini belum ada berita apa-apa.

Untuk pembaca novel yang ingin melihat film ini, siap-siap saja untuk dikecewakan. Untuk para penonton film yang belum pernah membaca novel, mungkin Anda akan terkesima melihat film ini dengan kehidupan Ikal dan Arai di Sorbonne serta lika liku cinta Ikal, but trust me, it’s much better than that.

Akhir kata, “Sure lof, it’s NOT Edensor.”

Score : 2.5 out of 5

Short review :

Plot : Novel-wise, banyak yang diubah dan dihapus. Hanya Mozaik 1, 11, 14, 16, 17, 18, 20, 21, 22, dan 23 yang diadaptasi dengan penekanan pada beberapa Mozaik. Sisanya plot orisinil. Penonton yang tidak membaca novel akan merasa puas, kecuali pada bagian ending yang terkesan tidak ada conclusion yang jelas.

Emosi : Adegan humor dan tear-jerking berhasil. Adegan suspense antara Ikal dan A Ling bisa menggugah penonton yang tidak membaca novel, namun membingungkan untuk pembaca novel.

Visual : Good, menangkap sisi kota Paris dan kehidupan siswa di Sorbonne. Adegan pemandangan kalah dengan “99 Cahaya di Langit Eropa”

Musik : Lebih banyak soundtrack berbau Melayu dibandingkan Eropa. Lagu “Negeri Laskar Pelangi” versi slow dan Melayu sangat dominan.

Pemeran : Lukman, Abimana dan Mathias berhasil membawakan peran. Logat Melayu Lukman dan Abimana berkurang, hanya kata boi yang masih tersisa. Sebagian orang berpendapat Lukman dan Abimana terlalu tua untuk memainkan Ikal dan Arai.

Short opinion : Best in the book series, but the worst in the film series.

NB. Mungkin saya terkesan menghujat film ini dan terlalu sering membandingkan dengan film “99 Cahaya di Langit Eropa”, namun sebagai pembaca novel saya hanya menyampaikan perbedaan dengan novelnya saja. Perbandingan dengan film lain pun tidak dapat dipungkiri, mengingat kedua film ini diputar pada waktu yang berurutan. Bukan berarti film yang lain lebih bagus, karena setiap film pasti memiliki kekurangan, namun memang film ini memiliki kekurangan yang cukup mencolok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun