Akhirnya ia kemudian melancong ke Indonesia tanpa ada niat belajar bahasa Indonesia.
"Saat kongkow-kongkow di Bandung saya cuma bisa bahasa Indonesia yang sederhana," katanya. "Tapi karena sering disapa sama orang-orang yang lewat akhirnya ia memutuskan belajar bahasa Indoenesia secara serius.
"Inilah dia bahasa non Eropa yang saya cari selama ini," katanya bersemangat.
Ia bukan saja belajar bahasanya tapi juga bejalar budaya bahkan makanan Indoenesia.
"Saya suka jengkol" katanya, "tapi mulut kita bau " sambil ketawa.
Dia tak suka makanan padang,. Ia cenderung vegetarian. meski ia mengakui segala jenis makanan di Indoensia ia suka semuanya, "semuanya," katanya, kecuali warung padang, ia ngakak lagi.
Ia cerita sewaktu ke NTT atau Flores ia kesulitan mencari warung makanan. "Semuanya warung Padang, saya cari lama tak ketemu, kenapa ya Orang Flores tak buka warung?" tanyanya.
Ia tahu tempat makanan yang asyik dan nikmat di Bali dan Jakarta bahkan Bandung. Jika ke daerah sana pasti sempatkan diri ke warung warung kesayangannya. Ia tak segan singgah di pinggir jalan makan.
Bahkan ia cerita pengalaman lucunya sambil hunting kuliner dan belajar bahasa Indonesia.
"Kesulitan saya di bahasa Indionesia adalah ada beberapa kata yang hampir mirip tulisannya, seperti kepala dan kelapa, saya tak bisa bedakan itu" katanya. pernah ia singgah di pinggir jalan beli kelapa muda.
"Pak, beli kepala!" tentu saja penjual kelapa muda itu ketawa. ia bingung kenapa diketawai. ia baru balik ngakak saat diberitahu kelapa dan kepala beda. Bahkan sesama sosialitenya di Batak ia diketawai jika mengingat cerita itu.