Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) dalam pernyataan yang dikutip media menyatakan bahwa tidak akan segera melakukan perubahan kurikulum Merdeka. Saya kira ini suatu sikap yang tepat. Â Jangan sampai ujaran bahwa ganti menteri ganti kebijakan atau ganti menteri ganti kurikulum tanpa ada perubah substansial semakin menjadi kenyataan. Sejatinya pergantian kurikulum bukan suatu yang diharamkan. Logikanya kurikulum dirancang untuk menjawab kebutuhan para pemangku kebutuhan (stake holders) pendidikan. Namun, kenyataannya sering kali dinamika masyarakat lebih dinamis daripada perubahan kurikulum yang acap kali bersifat birokratis. Perubahan kurikulum selama didasari oleh riset ilmiah dan merupakan jawaban tuntutan zaman tentu menjadi sah untuk dilakukan. Namun, selama pergantian kurikulum hanya sebagai pencitraan saja maka kurikulum akan terjatuh menjadi aturan birokratis yang kehilangan daya responsifnya.
Bila melihat kecenderungan arah kurikulum di beberapa negara maju sepertinya sudah tidak lagi berorientasi akademis atau kecerdasan intelektual (IQ)—bisa jadi karena sikap akademis (scientific) sudah menjadi budaya sekolah dan masyarakat. Muatan kurikulum sekarang diarahkan ke pemberian ruang yang seimbang kepada kecerdasan emosional (EQ: emotional quotient) atau sering disebut juga kecerdasan sosial dan emosional (SEL). Di Amerika misalnya ada program Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) yaitu program mengintegrasikan SEL untuk mendapatkan manfaat prestasi akademik, kesehatan mental, dan keterampilan sosial (Advancing Social and Emotional Learning - CASEL). Dan juga yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan dari University of California, Berkeley. Mereka mengembangkan praktik-praktik dan temuan-temuan Saintifik untuk diterapkan di sekolah, termasuk mengembangkan Pendidikan Sosial-Emosional di sekolah (Our Work | Greater Good In Education).
Secara ringkas, menurut para ahli ada 4 kuadran EQ yaitu: pertama, Personal Skill (kecakapan pribadi) yang terdiri dari: Self-awareness (sadar diri), Self-Management (atur diri); kedua, social skills (Kecakapan sosial), yang terdiri dari: Social Skill/empati (Sadar Gaul), Social Management (atur gaul). Â Pembagian kuadran ini juga menyebabkan pendidikan kecerdasan emosional disebut sebagai Social Emotional Learning (SEL). Dengan demikian, EQ melengkapi kecerdasan intelektual (IQ: Intelektual Quotient). Â EQ bertujuan untuk membangun kompetensi utama seperti kesadaran diri, manajemen emosi, empati, keterampilan sosial, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Dengan demikian, siswa tidak hanya akan unggul secara akademis, tetapi juga mampu mengelola emosi mereka, berempati kepada orang lain, dan mengambil keputusan yang etis.
SEL demikian urgen untuk dipertimbangkan dalam kurikulum kita karena pertama, riset-rsiet menunjukkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kunci bagi perkembangan kecerdasan akademik. Raymond J. Pasi (Pasi, 2001) meyakini bahwa mengintegrasikan kecerdasan emosional dalam pembelajaran tidak akan menurunkan pencapaian akademis siswa. Dengan membantu para siswa agar mampu mengembangkan kesadaran diri dan empati kepada orang lain, serta memahami emosi-emosi mereka dan bagaimana menangani emosi-emosi mereka, maka sebenarnya kita sedang menolong pencapaian akademis mereka. Riset-riset menunjukkan bahwa EQ merupakah salah satu faktor paling penting dalam pencapaian prestasi akademik (MacCann et al., 2020) dan berpengaruh positif pada perkembangan membaca, Matematika, dan Sains (Corcoran et al., 2018). Sementara itu, hal sebaliknya menunjukkan bahwa pengajaran akademis saja tidak akan mendukung siswa dalam mengembangkan tanggung jawab, empati dan kompetensi siswa (Payton et al., 2000). Dari riset-riset menunjukkan bahwa kalau kurikulum kita sama-sama fokus baik pada EQ maupun IQ maka prestasi akademik akan berkembang. Sebaliknya kalau hanya fokus pada IQ maka EQ tidak akan berkembang.
Daniel Goleman menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan kesuksesan seseorang. Goleman menemukan bahwa 80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosional, bukan semata-mata oleh kecerdasan intelektual (IQ). Hal ini tidak berarti bahwa IQ tidak penting; kecerdasan intelektual tetap diperlukan untuk pengembangan kemampuan akademis dan keahlian profesional. Namun, kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengarahkan emosi dengan bijaksana, berempati kepada orang lain, serta mengambil keputusan yang tepat di bawah tekanan, sering kali menjadi pembeda utama antara individu yang sukses dan yang tidak.
Kedua, disrupsi teknologi dan sosial yang cepat membuat remaja sering kali merasa kewalahan dalam mengelola emosi mereka. Ketika remaja tidak dibekali dengan keterampilan emosional yang memadai, mereka lebih rentan terlibat dalam perilaku negatif seperti kecanduan narkoba atau bahkan tindak kekerasan. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi dan mengambil keputusan yang bijak juga sering kali menjadi akar dari banyak masalah sosial yang melibatkan remaja.
Ketiga, Perkembangan AI sekarang sudah sedemikian maju. Sudah saatnya sekolah memberikan perhatian yang sama terhadap EQ. Hal ini karena AI menyebabkan dunia pendidikan telah mengalami perubahan besar. AI membantu siswa dalam hal pembelajaran yang lebih efisien dan personal, sehingga mereka dapat mencapai hasil akademis yang lebih baik. Meski perkembangan AI begitu pesat mendorong kemajuan akademis, namun celakanya otomatisasi dalam proses pembelajaran sering kali mengurangi kesempatan siswa untuk mengasah keterampilan sosial dan emosional mereka. Siswa yang lebih banyak berinteraksi dengan teknologi daripada dengan sesama manusia, berisiko kehilangan kemampuan untuk berempati, menyelesaikan konflik dengan cara yang sehat, atau memahami dampak emosional dari tindakan mereka terhadap orang lain. Akibatnya, kecenderungan untuk melakukan tindakan berisiko seperti bullying dan pelecehan seksual meningkat seperti yang sedang viral saat ini.
Krisis kecerdasan emosional ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bisa lagi hanya berfokus pada pengembangan kecerdasan intelektual. Implementasi pembelajaran sosial dan emosional (social and emotional learning/SEL) dalam kurikulum pendidikan menjadi kebutuhan yang mendesak. Hemat penulis inilah yang aspek sering tersisihkan dalam perubahan  kurikulum kita selama ini. EQ atau SEL kalaupun ada hanya sekadar ‘nempel’ tanpa ada panduan program yang jelas.
Tujuan utama kurikulum dalam pengembangan kecerdasan intelektual tidak mesti harus ditafsirkan sebagai kurikulum yang melulu berkutat dengan muatan akademik saja. Pada praktiknya, sekolah bisa tetap meraih tujuan akademis tanpa harus kehilangan suasana emosional yang positif seperti keceriaan, keakraban, kesantaian, dan keseriusan akademis.
Apakah mungkin mengubah paradigma kurikulum yang selalu bertitik tolak dari IQ? Mengapa kita tidak mencoba untuk pertama mempersiapkan EQ para siswa terlebih dahulu? Bayangkan bila sekarang UN dikembalikan tanpa dibekali kematangan emosional siswa maka yang terjadi adalah stress massal; orang tua, siswa, sekolah, dinas dan banyak pihak lainnya. Pada kondisi ini menurut tinjauan Neurosains yang aktif adalah otak amygdala: yang penting selamat meski dengan jalan apa pun. Akhirnya yang terjadi adalah manipulasi UN kembali terjadi. Hasil UN tidak lagi real menggambarkan pencapaian akademis siswa dan juga mengorbankan kecerdasan EQ siswa.
Daftar Bacaan: