di sudut-sudut jakarta
guntur tiba menghantam dada, datangnya bersama malam gulita.
lembab lengket, aku berjalan pulang dari atas kota. menyusuri jalur becek
menapaki jalan berlubang penuh bercak dan bau sampah.
gerimis turun menuduh kepala bersama dingin yang mulai terasa.
aku berlari menuju teduh di atas kardus di bawah kolong jembatan. kardus-kardus pelindung ketika angin berkeliling di sisi-sisi.
debu-polusi membias pada nafas.
aku bosan
aku bosan!
bertanya, aku bosan!
bertanya-tanya. mengutuk-ngutuk kesulitan.
memaki nasib. membunuh pandang pada gemerlap kota, aku bosan.
mencari jalan, memburu cinta aku lelah.
lalu koran-koran lepek pembungkus kacang yang dibuang ke arah kami
menuntun kami kembali, pada pertanyaan
mengapa kami menjadi korban? mengapa kami disingkirkan? diasingkan, dibiarkan, tak pernah diinginkan keberadaannya.
aku bersumpah, kami juga tidak ingin bernasib begini.
sekalipun tak begini, kami menjadi kalian
kalian adalah kami.
cinta telah hilang sejak lama
sejak daun gugur menjadi sampah yang menjengkelkan
di hadapan kami. kalian adalah cermin. menjadi kalian bukan kebahagiaan.
tapi rumput-rumput mata pisau  yang berwajah kasur
kami akan tertidur tanpa sadar punggung telah tertusuk berantakan
darah tak terlihat, dekak-dekak kesakitan
penderitaan terbungkus hangat oleh selimut kemewahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H