Konsep racun dalam tulisan ini merujuk kepada apa yang disebut Nietzsche, seorang filsuf berasal dari Jerman yang mempelajari teks-teks kuno untuk membongkar peradaban manusia, dalam (Seruan Zarathustra) sebagai "Berhala Baru" ialah kapital dan pasar yang mengumbar kebohongan melalui bahasa-bahasa muluk tentang pemerataan, pembagian yang berkeadilan, penyediaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan masyarakat setempat, kemajuan yang menyejahterakan, mengembangkan kearifan lokal, masyarakat lokal diberikan ruang. Â
Racun yang diciptakan kapital dan pasar ini diambil dari bahan baku asli Kek Mandalika yang bernama tanah tumpah darah Kute kemudian diracik menjadi jamuan yang pada akhirnya membunuh mereka yang empunya gumi paer.Â
Menariknya, para empunya gumi paer mati karena bahan racun yang dicuri dari rahimnya sendiri. Disuntikkan ke dalam relung terdalam mereka dengan metode kebohongan yang cantik bernama gincu kemajuan. Kemudian, masih saya pinjam dari seruan Zarathustra, mereka para peracik racun itu berpapasan dengan para empunya tanah, lalu segera mereka menyeru, "Hidup Tersangkal!" Ya, hidup para empunya tanah memang tersangkal dari rahim yang mengandunginya karena kebohongan cantik para peracik racun.
Hidup masyarakat lokal semakin tersangkal karena mereka sudah diguyur ketidaksadaran secara keterlaluan. Tidak sadar yang mereka dijebak ke dalam remah-remah kebohongan yang membumbui mimpi. Begitu tidak sadarnya, malahan mereka pula yang menjadi corong para berhala untuk menghalai siapa pun yang masih berakal sehat dalam melihat bahaya keracunan Kek Mandalika.Â
Jika masyarakat sudak tidak percaya lagi bahwa kemiskinan tak mungkin memenangkan pertarungan melawan kapitalis atau janji kapitalis tentang hingar bingar Kek Mandalika yang juga tercucur kepada mereka, maka semakin sadislah ketersangkalan masyarakat lokal itu. Ketersangkalan nasib masyarakat lokal makin mengganas tak terkendali apabila mereka sudah terjebak sedalam-dalamnya ke ruang ketidaksadaran yang, mereka sebenarnya berada di ruang hampa, pelataran kosong fatamorgana kapitalis.Â
Ujungnya nanti, masyarakat lokal yang akan meminum racun ke mulutnya sendiri hingga mati sebelum mimpi tertuai. Dan ini ialah drama yang semakin menguntungkan kapitalis, sebab mereka tak perlu mengeluarkan biaya sesen pun untuk benar-benar memusnahkan masyatakat lokal untuk seterusnya menjadikan Kek Mandalika sebagai pusat kuasa segala kuasa.
Hal sama tentang konsep kematian yang dirujuk kepada eksistensialisme Nietzsche yang menyebutkan bahwa kematian bukan saja mengenai ketiadaan kehidupan. Kematian yang dimaksudkan ialah kematian kemanusiaan (humanness) yang, dalam penyebutan Imam Ghazali sebagai kematian yang belum waktunya untuk menyebut manusia yang tidak berguna karena kegunaannya dibunuh oleh kuasa. Dengan kata lain, kematian yang dimaksudkan diturunkan atau diulir dari kematian yang tiada menuju keesensian manusia. Salah satu esensi manusia ialah kemerdekaan untuk mengaktualisasikan diri.Â
Kemerdekaan untuk mendapatkan udara, air, tanah berdasarkan undang-undang yang diciptakan oleh mereka untuk keperluan mereka sendiri. Esensi manusia modern ialah mereka yang dapat menikmati modernitas itu, bukan dibunuh secara menyakitkan oleh modernitas tersebut. Esensi manusia maju ialah mereka yang merdeka dengan bahagia dalam kemajuan, bukan tertindas tanpa perlawanan oleh kemajuan tersebut.Â
Esensi manusia Kek Mandalika ialah mereka yang menikmati segala yang dinikmati oleh mereka yang memanipulasi Kek Mandalika, bukan manusia yang disangkal, bukan manusia yang dilabelkan sebagai ranting yang ditunggu patahannya, bukan manusia yang dihalau dari rahim tanah mereka dengan berbagai standar manusia luar yang hanya datang membuang tinja dan sperma serta keringat ke Kek Mandalika. Esensi manusia Kek Mandalika adalah mempunyai tanah. Merdeka untuk terikat pada sejarah. Bukan manusia yang meminum racun untuk kematiannya sendiri sebab sudah dijajah tanpa sadar oleh gerombolan berhala Kek Mandalika.
Seterusnya, untuk sedikit lebih dalam melihat bahwa Kek Mandalika memang racun mematikan kemanusiaan masyarakat lokal saya gunakan teori subaltern yang pertama kali diperkenalkan Antonio Gramsci (seorang filsuf berasal dari Italia yang banyak menghabiskan pemikiran dengan teori kuasa politik) dalam tulisannya tentang Hegemoni Kultural. Gramsci melihat bahwa siapa pun mereka yang masuk dalam kelompok yang disangkal, dikucilkan, dikecualikan, diekslusi dalam setiap tatanan sosial, dalam setiap rantai ekonomi, dalam semua stuktur kekuasaan ialah subaltern.Â
Tentu saja, pengucilan tersebut dilakukan menggunakan semacam sistem atau aturan atau undang-undang yang diproduksi oleh kaum elite yang pemberlakuannya secara sepihak. Dalam hal ini, jika melihat pemetaannya, sudah jelas ada kaum elite yang entah datang dari golongan penguasa politik atau pun penguasa ekonomi dan terdapat masyarakat lokal di Kek Mandalika. Kedua kelompok ini kemudian ada yang menjadi pusat ordinat yakni mereka yang menguasai dan mampu menikmati Kek Mandalika dan subordinat yakni masyarakat lokal yang tidak lagi mempunyai kuasa di Kek Mandalika.