Oleh : Salman Alfarist - Mahasiswa STEI SEBI, DEPOK
Email : ssalmanalfrst@gmail.com
Â
Pemilihan Umum atau Pemilu tahun 2024 adalah kontestasi politik terbesar di Indonesia, Dimana momentum ini terjadi setiap 5 tahun sekali. dalam menyambut pemilihan umum 2024 ini, kita sebagai warna negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan pemilu ini sebagai arah pembentuk masa depan bangsa. Pemilu bukan hanya sebagai ritual demokrasi, melainkan momentum penting dimana suara rakyat menjadi kekuatan untuk memilih pemimpin yang akan membawa harapan seluruh rangkat Indonesia ke depannya.
Pemilu tahun ini menjadi titik perhatian seluruh masyarakat tanah air, sebab mengundang banyak pertanyaan dan refleksi mendalam tentang bagaimana demokrasi saat ini, tata Kelola negara dan juga gagasan arah pembangunan. Dalam menyongsong Pemilihan Umum 2024, tidak hanya kita dihadapkan pada sebuah peristiwa demokrasi yang dinanti-nantikan, namun juga suatu ujian bagi keharmonisan kehidupan sosial di tengah masyarakat.
Kontestasi politik sering kali menyulut beragam pandangan dan hasrat, yang jika tidak ditangani dengan bijak, dapat membahayakan kerukunan dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Pemilu seringkali menjadi pemicu ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat. Perbedaan pandangan politik, suku, agama, dan ideologi dapat menjadi sumber gesekan yang berpotensi merusak kerukunan bermasyarakat. Maka harus adanya upaya pencegahan yang focus guna meminimalkan potensi konflik yang dapat merugikan kehidupan sosial masyarakat. Salah satu yang memiliki potensi besar terjadinya perpecahan adalah melalui media sosial. Â yang dapat memicu ketidakpercayaan antar kelompok masyarakat. Penyebaran informasi yang tidak benar dapat menciptakan ketegangan dan merusak hubungan antarwarga.
Data tersebut didapatkan dari laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dimana dikatakan bahwa platform media sosial Facebook adalah yang paling banyak adanya penyebaran kebencian. Terhitung dari periode 17 Juli -- 23 Nov 2023, jumlah laporan sebaran hoax dan ujaran kebencian telah mencapai 313 kasus, sementara itu yang sudah berhasil diproses mencapai 275 kasus.
 Kedua datang dari platform Tiktok yang menempati runner up dalam jumlah banyaknya informasi hoaks dan sentiment negative (21 konten). Ketiga ada platform Youtube dengan 18 konten, keempat twitter, dan terakhir datang dari platform Snack Video (2 konten).
Pada 10 tahun terakhir, total ada 6 negara termasuk Indonesia yang mengalami kerusuhan akibat sengketa pemilu di negaranya. Pada tahun 2019 silam. Adanya bentrokan antara warga & polisi di Jakarta Pusat, lantaran adanya kekecewaan dan indikasi adanya kecurangan dari hasil pemilu 2019. Pada kala itu ada dua pasangan capres-cawapres yang berkontestasi, yaitu Pasangan Jokowi-Maruf yang didukung oleh 9 Partai Politik dan pasangan Prabowo-Sandiaga yang didukung oleh 4 partai pilitik. Total ada sekitar 400 lebih diamankan dengan barang bukti sejumlah senjata tajam dan bom molotov. Peristiwa menegangkan ini berlangsung selama kurang lebih 2 hari setelah pemilu. Awal mulanya  adanya demonstrasi dari para pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno di depan kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Sarinah, Jakarta Pusat. paslon tersebut kalah dari paslon 01 yaitu Jokowi-Maruf.
Tensi Poitik pada saat itu sangat tinggi dan tidak terkendali. Terlebih lagi saat ditemukannya bukti dan banyaknya indikasi kecurangan pemilu seperti surat suara yang sudah tercoblos sebelum pemilu dan pengerahan sejumlah ASN yang memihak kepada salah satu paslon. Hal tersebut menjadi pancingan bagi warga untuk terus menggoreng sedemikian rupa dengan narasi yang provokatif agar memancing emosi warga.
Dan pada saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mengumumkan hasil pemenang pemilu yang menyatakan bahwa pasangan Jokowi -- Maruf resmi mendapatkan perolehan suara sebanyak 55,50 persen dan menang di 21 provinsi dari pasangan Prabowo -- Sandiaga yang mendapatkan perolehan suara sebanyak 44,50 persen dan menang di 13 provinsi. Dan setelah pengumuman itulah terjadi Chaos besar pada tanggal 21-2 Mei 2019. Ini juga menjadi cacatan hitam bagi demokrasi Indonesia karna telah mengakibatkan total 895 nyawa petugas KPPS tewas dan ada sebanyak 5.175 petugas mengalami jatuh sakit.