Ini fitrah. Fitrah sosial akan tumbuh sempurna di usia 7thn jika fitrah individualitasnya terpenuhi pada usia sebelumnya. Ketika seseorang yang merasa belum cukup dengan kebutuhannya, lalu dipaksa memahami orang lain (termasuk orang tuanya) maka hormon kebahagiaan tidak muncul, justru sebaliknya.
Persepsi apa yang muncul dari memberi ataupun "berempati" karena terpaksa? Memberi itu tidak menyenangkan untuk diriku. Di lain sisi, seseorang yang dipaksa "berempati" atau memahami perasaan orang lain sebelum dirinya maka akan muncul mindset "taker". "Aku sudah melakukan ini, kok kamu ngga melakukan itu?" "Aku sudah capek2, kok kamu malah.."
Dan muncul perasaan kecewa ketika orang lain tidak melakukan seperti apa yang dilakukannya. Mereka menjadi tak realistis, mereka beranggapan bahwa "orang baik" adalah orang yang selalu menyenangkan orang lain.
Sederhananya seperti anak kecil yang bertanya "kok dia ngga pinjamkan mainan ke aku? Aku kan selalu pinjamkan dia." Maka ia akan banyak melihat "keburukan" dari orang lain.
Kenapa Giver bisa minim perasaan kecewa ketika orang lain tidak melakukan hal yang sama? Karena dia paham "ya gpp, aku juga tidak selalu memenuhi keinginan
orang lain. wajar kok". Maka umumnya seorang Giver juga mudah membuat batasan. Sudah "penuh jiwa" nya dengan terpenuhinya kebutuhan emosionalnya. Sudah merasa cukup, sehingga mampu memberi. Ditambah, mendapatkan hormon kebahagiaan ketika melakukan sesuatu untuk orang lain.. asyaAllah, senatural itu Allah memberi kita "amunisi" untuk berbuat baik.
Lalu bagaimana jika sudah terlanjur memiliki mindset Taker? Yuk, sadari lagi peran kita. Siapa yang menginginkan kita menjadi orangtua? Bukan anak tentunya, karena dia tak meminta dilahirkam dan tak bisa memilih orangtuanya. Bukan juga kita kok. Seberapa besar pun usaha kita, kalau Allah belum menghendaki tentu tidak akan ada seorang anak.
Ya, Allah yang memberikan kita peran ini. Maka Allah pula sebaik-baiknya yang mampu membalasnya, bukan anak ataupun pasangan. Dan Allah pula yang memampukan kita. Niatkan hanya karena Allah. Allah menilai usaha kita, bukan hasilnya.
Sehingga ketika ada perasaan kecewa terhadap anak, coba diluruskan lagi niatnya. "Usaha kita ini untuk apa? Untuk siapa?" Biasanya, perasaan kecewa itu muncul ketika niat kita bukan lagi karena Allah atau "sedikit" bergeser. Sadari lagi, perbaiki lagi, proses itu tidak instan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H