Mohon tunggu...
Salma Naila Mumtaz
Salma Naila Mumtaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya memiliki ketertarikan dalam hal menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sinergi Adab dan Ilmu dalam Praktik Retorika Dakwah

25 Juni 2024   19:43 Diperbarui: 25 Juni 2024   19:54 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syamsul Yakin dan Salma Naila Mumtaz (Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)/dokpri

Sebagai sebuah disiplin ilmu, dakwah dan retorika harus bebas dari pengaruh nilai tertentu. Artinya, ilmu dakwah dan retorika harus dikembangkan murni berdasarkan ilmu pengetahuan, tanpa dipengaruhi oleh pertimbangan lain di luar pengetahuan, seperti adab.

Namun, tampaknya dalam ilmu dakwah dan retorika terdapat unsur adab. Artinya, meskipun kedua ilmu ini harus bebas nilai, mereka tetap harus mempertimbangkan kebenaran dan dampaknya. Dengan kata lain, ilmu dakwah dan retorika terikat dengan adab yang berasal dari ajaran agama dan budaya.

Oleh karena itu, adab dan ilmu dalam retorika dakwah harus dipadukan. Dalam konteks ini berlaku adagium "ilmu bukan untuk ilmu", tetapi ilmu untuk kebaikan dan kemudahan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, ilmu itu untuk kemanusiaan. Inilah pentingnya adab.

Secara praktik, retorika dakwah tidak hanya mencakup ilmu berdakwah secara efektif dan efisien, menarik dan atraktif, tetapi juga aturan kesopanan, keramahan, dan budi pekerti yang luhur. Apalagi, dakwah pada awalnya bersifat subjektif, dogmatis, dan penuh nilai. Retorika juga pada awalnya berasal dari budaya dan berdasarkan sistem nilai tertentu.

Ketika retorika lahir dari budaya, berkembang menjadi seni berbicara, tumbuh menjadi pengetahuan, dan akhirnya diakui sebagai ilmu, pada titik tertinggi ini retorika perlu diikat oleh adab. Budaya, seni, pengetahuan, dan ilmu manusia harus dipadukan dengan adab.

Demikian juga dengan dakwah. Berawal dari dogma atau ajaran agama, berkembang menjadi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang belum teruji secara ilmiah, dan akhirnya menjadi ilmu dakwah yang mapan tentu juga harus didampingi oleh adab. Dalam berdakwah terdapat kesopanan, keramahan, dan budi pekerti seorang dai.

Memadukan adab dan ilmu dalam retorika dakwah menghasilkan dua hal. Pertama, menghilangkan komodifikasi dakwah. Komodifikasi dakwah menjadikan dakwah sebagai komoditas atau barang dagangan. Selama ini, komodifikasi dakwah berlindung di balik profesionalisme dan manajemen. Dai yang berilmu dan beradab menolak komodifikasi dakwah.

Dai dan mitra dakwah dilarang keras membisniskan dakwah. Namun, dai dan mitra dakwah boleh mendakwahkan bisnis karena Nabi, para sahabat, dan ulama banyak yang berprofesi sebagai pedagang. Dai harus menghidupkan dakwah, bukan menggantungkan hidup dari berdakwah.

Kedua, memadukan ilmu adab dan ilmu dalam retorika dakwah akan menjadikan dai profesional dalam arti sebenarnya. Makna profesional bukanlah terkenal, memiliki manajer, dan harus dibayar, tetapi memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah dan beretorika.

Makna profesional bukanlah tidak memiliki pekerjaan selain sebagai dai. Dai boleh bekerja sebagai apapun tanpa mengesampingkan profesionalisme. Sebab, makna dai profesional dalam konteks ini adalah sepenuhnya menghayati apa yang dikatakan dan mengamalkannya berdasarkan adab dan ilmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun