Mohon tunggu...
salman parisi
salman parisi Mohon Tunggu... -

Saya seorang pengajar dan penyuka buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miss Scarlet Cohen: Volunteer Amerika yang Unik

5 Januari 2014   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau mendengar kata Amerika tentu saja yang terbayang adalah sebuah Negara yang mengaku sebagai polisi dunia, pusat kapitalisme dan pusat hiburan dunia. Memang hal ini tidak salah. Karena demikian itulah yang bisa kita baca di media massa.

Namun saya secara pribadi menemui sisi Amerika yang lain. Sisi lain itu saya dapatkan dari seorang volunteer wanita Amerika, Miss Scarlet Cohen.  Saya bertemu dengannya waktu saya diminta untuk mengisi acara training di sanggar Ulul Albab di Gadog, Puncak dan kebetulan Miss Scarlet mengisi juga di sana. Miss Scarlet berusia sekitar 32 tahun.

Kesan saya ketika pertama bertemu dengannya adalah keramahan dan kesederhanaan. Setelah beberapa saat berkenalan kami menjadi akrab dan mengobrol beberapa hal. Hari itu kami diperkenalkan kepada peserta training yang terdiri dari anak-anak sekolah SD, SMP, SMA dan anak-anak putus sekolah.

Kami mendapat jadwal mengisi acara training pada sore harinya. Untuk menunggu waktu Miss Scarlet mengajak saya untuk melihat sekeliling lokasi training. Saya agak kebingungan karena saya juga orang baru di sana. Kemudian saya bertanya kepada panitia apakah ada kendaraan yang bisa kami gunakan. Namun, Miss Scarlet meminta saya berjalan kaki, dia bilang, “I love walking.” Wah cocok dong saya juga memang senang jalan-jalan.

Dia sangat mencintai alam. Matanya begitu awas mengamati berbagai tumbuhan dan tanaman. Telinganya begitu sensitif mendengar berbagai bunyi binatang, desir angin, dan gemericik air. Tangannya tidak henti-hentinya menggunakan ipadnya untuk mengabadikan berbagai objek yang menurutnya menarik, dan ditingkahi dengan kicauan mulutnya yang tidak hentinya mengucapkan kata it’s amazing, wonderful, dan lain-lain. Di tengah tetumbuhan yang rindang dan suasana yang sangat damai, dia terlihat sangat nyaman. Kemudian dia mengatakan bahwa dia ingin melakukan meditasi di sana. Kakinya sangat kuat mendaki tanjakan dan mengatakan bahwa tanjakan adalah, “the best part of our way.”

Di perjalanan itulah kami mulai berbicara banyak hal. Sungguh di luar dugaan saya, dia adalah seorang yang sangat spiritualis. Saya bingung mencari kata untuk menggambarkan aspek relijiusitasnya. Karena memang dia tidak memiliki agama formal, dia hanya mengaku seorang yang mempraktikkan yoga dan mengaku sebagai pemeluk Hindu. Meski dia katakan untuk saat ini dia nyaman dengan Hindu, dan tidak tahu kelak di masa yang akan datang. Di samping itu, aksesoris yang dia gunakan terkait dengan laku spiritualnya. Misalnya kalung yang dia gunakan adalah semacam tasbih yang dia gunakan untuk meditasi yoga. Kemudian gelang yang dia gunakan pun sama. Tidak ada perhiasan dari emas atau lainnya.

Dia sangat tertarik dengan berbagai hal yang berbau relijius. Hal ini terlihat ketika kami akan makan, kami membaca bismillah dan setiap kali selesai kami membaca alhamdulillah. Dia kemudian bertanya apa artinya dan kemudian berusaha menghapal dan mengamalkannya pada setiap kali kami makan.

Akhirnya dia bercerita bahwa cita-cita yang sangat ingin dia wujudkan adalah dia ingin memiliki sebidang tanah yang akan dia gunakan untuk bercocok tanam berbagai jenis sayuran. Dia ingin memenuhi semua kebutuhan pangannya dari kebunya sendiri dan hasil tetes keringatnya sendiri. Ah satu keinginan yang sulit saya bayangkan keluar dari mulut seorang bule Amerika. Apalagi kalau dia tahu bahwa di Indonesia petani adalah pekerjaan yang paling tidak diinginkan. Ah saya menjadi bingung setengah mati, bagaimana seseorang yang hidup di pusat kapitalisme dunia dan sekuler bisa memiliki keinginan yang demikian sederhana dan memiliki kehidupan relijius yang mendalam????? Sementara di sini banyak orang yang berjubah agama menjual ayat-ayat demi meraih dunia.

Karena waktu makan siang sudah tiba, kami harus pulang ke tempat training.  Pada saat makan itulah saya mendapatkan sisi lain dirinya yang menarik. Ternyata dia adalah seorang vegetarian. Daging dan ikan tidak dia sentuh sama sekali. Dia terlihat sangat berhasrat dengan berbagai macam sayuran dan lalapan dan sambal. Akhirnya panitia menyediakan makan dengan menu ala Sunda. Dari mulai karedok, lotek, urap, pare, dan daun-daun lain, bahkan petai dan jengkol he he he. Dia tak segan mencoba semua kuliner ini. Setiap kali makan dia sangat menikmati.

Sampai akhirnya kami mengeluarkan warisan keluarga  Sunda, yaitu goreng nasi kunyit. Dia sangat antusias dan sangat menikmati sekali. Akhirnya setiap pagi, dia meminta nasi kuning. Dan malah dia sendiri yang berusaha untuk membikinnya. Setiap kali nasi kuning dihidangkan dia selalu nambah dan bilang bahwa, “It’s my favorite food. Delicious.” Sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Moment yang membuat kami semua merasa lucu dan senang.

Ketika kami singgung makanan fast food seperti MC Donald, KFC dan lain-lain, dia tampak mengerutkan dahi dan berkata bahwa itu semua adalah makanan sampah dan berbahaya bagi kesehatan. Saya hanya berkata rupanya dunia ini sudah jungkir balik. Di hadapan saya bule Amerika makan lalapan dengan lahap, sementara urang Sunda di luar sana bangga makan fast food.

Pada hari kedua dia mengajak saya jalan-jalan kembali. Karena panitia sibuk dan tidak ada yang kuat menemani jalannya. Akhirnya saya menemaninya kembali. Hari ini rute kami menyusuri kebun-kebun penduduk dan rumah-rumah penduduk. Saya bilang bahwa sebagian dari siswa yang ada di sanggar berasal dari penduduk desa yang miskin ini. Perkataan saya ini langsung dia sambar dengan pertanyaan, “What do you mean by poor?” Saya bilang kita bisa lihat dari rumahnya, pakaian mereka dan penghasilan mereka. Kemudian dia menjawab bak seorang tokoh spiritual yang bijak, “Menurutku kalian ini orang-orang yang kaya. Kalian memiliki semua yang dibutuhkan untuk hidup yang baik dan sehat. Kalian bisa menghirup udara yang segar, air pegunungan yang jernih, makanan yang segar dan suasana yang damai. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang berapapun.” Ah saya seperti petinju yang terkapar pasrah karena mendapatkan pukulan TKO keras Mike Tyson di detik-detik babak pertama pertandingan. Terkulai lemah memandang bangsa kami yang sekarang sedang keranjingan menuhankan materi dengan mengorbankan nilai-nilai moral dan agama.

Bisa jadi ini adalah suatu sentilan bagi kehidupan kita yang terlalu mengagungkan gaya hidup di luar kita sembari melupakan berbagai nilai kelebihan kita. Terlintas di pikiran saya penjelasan dari seorang Prof saya di kuliah dulu bahwa orang-orang Eropa dan Barat sekarang sedang beralih ke kebijaksanaan timur, mereka sedang mencari ketenangan batin dan spiritualitas. Sementara kita di timur malah sedang mengekor mereka dan akan mengalami apa yang mereka rasakan. Sungguh terlalu kata Bung Haji Rhoma Irama………….

Semoga bermanfaat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun