Salman Imbari
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Manajemen IPB
Dalam suatu acara diskusi HMI dengan mengangkat motto Insan Cita HMI kaitannya dengan pendidikan tinggi. Insan Cita itu intinya berkaitan dengan sifat-sifat yang diharapkan dalam perkaderan HMI, yakni insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam. Apakah insan cita ini relevan dengan keadaan universitas saat ini? Tulisan ini mengangkat beberapa pendapat yang berkembang pada saat diskusi.
Memang motto itu dirumuskan para pendiri HMI sejak awal tahun 50, akan tetapi sampai saat ini dirasakan masih relevan. Perkembangan dunia saat ini sulit dilepaskan dari tiga ciria insan cita. Perguruan tinggi yang hanya mereproduksi ilmu pengetahuan masa lalu, tidak akan bisa berkembang dan bahkan akan tertinggal. Diperlukan karya-karya inovatif untuk mengisi ekonomi dewasa ini. Sumber daya alam memang perlu, tetapi tanpa nilai tambah hanya akan membuat negara tergantung. Selain itu, pengelolaan sumber daya alam harus menerapkan konsep-konsep keberlanjutan (sustainability). Dus, perlu peran insan cita dalam memanfaatkan sains dan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam.
Insan akademis adalah unsur utama masyarakat berbasis pengetahuan atau Knowledge-base society (K-society). Tanpa insan akademis tidak ada K-society. Namun hal ini tidak berarti bahwa seluruh anggota masyarakat harus mempunyai gelar akademik secara formal. Yang penting adalah kuatnya unsur rasionalitas, menghormati perbedaan berpikir, keragaman budaya, serta tidak mudah terpancing oleh berbagai isu yang menyebabkan perselisihan. Peran lembaga pendidikan (tinggi) tentu sangat penting dalam proses membangun dan memelihara K-society.
Adalah wajar bila perguruan tinggi sebagai miniatur K-society karena civitas akademika adalah kumpulan para insan akademis. Di dalam kampus itulah mahasiswa dibiasakan untuk berpikir bebas sambil memahami tatanan keteraturan. Kebebasan berpikir individual itu juga berarti menghormati kebebasan orang lain. Di sinilah letak keindahannya (the beauty) sehingga keteraturan (the order) akan terwujud. Kebebasan akademik ini harus dipelihara melalui berbagai cara, termasuk oleh sistem manajemennya. Mengapa? Karena pola inilah yang akan membentuk unsur kedua dari insan cita, yakni pencipta.
Perlunya Otonomi Universitas
Perguruan Tinggi (PT) berbeda dengan lembaga lain karena berkaitan langsung dengan pembinaan modal insani serta sains-teknologi. Otonomi bersama-sama GUG (Good University Governance) adalah syarat terwujudnya PT yang berkualitas. Secara kelembagaan makro, memperlakukan PT sebagai entitas bawahan Pemerintah (utamanya Kemenristekdikti, Kemenag, dan Kementrian PAN-RB) hanya akan membuat lembaga ini kerdil. Pada saat itulah PT akan terjebak pada keberhasilan semu yang terlalu administratif dan kehilangan inovasi. Memang pemerintah punya peran dalam alokasi anggaran, tetapi hal ini jangan dijadikan alasan untuk mengebiri PT.
Saat ini terjadi dua pendapat diametral tentang manajemen PT. Satu pihak ada yang menginginkan adanya otonomi penuh. Di pihak lain ada yang menganggap PT sebagai satker (satuan kerja) dari Kementrian (Ristekdikti untuk PT umum dan Kemenag untuk PT agama). Daya cengkram Kemenristekdikti dilakukan terhadap PT (negeri) melalui pola berdasarkan klasifikasi PTN BH (Badan Hukum), PT BLU (Badan Layanan Umum), dan Satker. Adapun terhadap PTS melalui Kopertis.
Model klasifikasi PTN itu berdasarkan tingkat kematangan PTN dalam tridharma dan perolehan dana (income generating) non SPP. PTN BH umumnya adalah PTN yang berasal dari PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara), seperti UI, IPB, ITB, UGM, USU, UPI, dan UNAIR. Adapun PTN BLU adalah PTN yang “dianggap” sudah mulai beranjak maju plus memiliki aset untuk pembangkitan pendapatan non SPP. Adapun PTN satker adalah PT yang “belum kuat” dalam tridharma pembangkitan income termasuk di dalamnya PTNB (Baru). PTNB awalnya adalah PTS yang karena suatu hal mereka berubah menjadi PTN. Hakikinya upaya ini dibuat untuk meningkatkan mutu universitas. Akan tetapi, bagi beberapa PTNB, daya cengkram ini cukup membelit. Lebih kencang daripada statusnya ketika masih PTS.
Apakah benar ketiga model itu sudah benar-benar pola yang tepat untuk meningkatkan mutu PT? Apakah kelompok PTN BH itu pun sudah mampu meningkatkan inovasi civitas sehingga terjadi kreasi sains (scientific knowledge creation) dan aplikasinya? Kalau ditinjau dari kacamata WCU (World Class University) tidak ada satu pun PT Indonesia yang masuk 200 besar WCU. Kelompok yang menginginkan otonomi penuh beranggapan bahwa saat ini tidak ada keleluasaan manajemen PT yang mampu menghasilkan insan cita (akademis, pencipta, dan pengabdi). Bahkan PTNBH pun masih tidak terlalu leluasa. Ada kesan disuruh berlari sambil kakinya diikat. Akhirnya cuman bisa menggapai keinginan, sulit mewujudkannya.