Mohon tunggu...
Salman Imbari
Salman Imbari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bicara Yang Baik Atau Diam Sama Sekali (Baca dan Lawan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seporsi Doa Rahman

23 Desember 2013   01:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Salman Imbari

Masa SMA bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk rahman. Masa SMA adalah masa dimana ia harus menyatu bersama kepenatan mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak Bapak. Lembaran putih catatan takdirnya dihiasi olehnoktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasikan oleh keadaan.

“Bulan depan ujian akhir, kalian bapak panggil ke kantor karena kalian sudah nunggak SPP selama 3 bulan. Kalau sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa bapak tidakmengijinkan kalian ikut UAS.” Ujar Kepala Sekolah.

Sengatan listrik ribuan voltase mengalir membekukan jantung Rahman. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman – dentuman besar pengabar duka.

***

Adonan tepung putih yang ia balurkan kepada berpotong – potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandanganyatertuju pada seorang lelaki paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting cangkul dan terik matahari, butiran keringat menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, di penuhi gurat – gurat keletihan, tak henti mengayunkan cangkul yang ia pegang, kedaan merubah ia menjadi seorang Arjuna yang harus berjuang menghidupi ketiga anaknya, membusurkan keinginan dalam ranah takdir. Rahman Mendesah, potongan duka yang di dapatkannya sehari silam ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapinya kepenatan Bapaknya.

Kata – kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekuarangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Bapaknya. Sesegera Mungkin.

Persetan !! Bapak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takkan ku bebani pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menaggung kebutuhan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rahman kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan- potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.

****

“kok buru – buru, man ?” sapaan Rian mengehentikan langkahnya menyusuri koridor itu. “eh iya nih, aku mau ke Pak Nurjaman.” Jawab Rahman.

“ngapain?”

“biasa ngurusin kerang.” Jawab rahman singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan, setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian, senilai dengan sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Bapak.

*****

Butiran molekul yang membentuk terik gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rahman, laksana penjelajah ruang dan waktu, Rahman berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit, berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat oleh keluarga pak Nurjaman, menjajakan lembaran berita buram diantara celah – celah bangunan kelas, semua ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya 3 bulan SPP

****

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhkir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan Kepala Sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia mengadah, gemerincing rupiah yang di hasilkan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya seraya shock!, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir – bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisannya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambut esok hari.

Ya Allah, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Bapak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang di janjikan pendidikan, Demi Bapak. Akan kuhadapi serpihan – serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Bapak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Bapak dan kedua Adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Bapak punya anak sarjana, kembali pada titik beku antara ia dan kebuasan pendidikan.

“Rahman, kemana saja kamu ?” Tanya Bapak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan bapak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi – kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Rian, Wiwi, dan Dani teman sekelas Rahman, duduk di sudut ruangan.

“ada apa ini?” gumam Rahman dalam hati.

“duduk dulu, nak,”

Bapak membimbing Rahman duduk di sampingnya. Rahman sibuk membaca berbagai ekpresi yang di pancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut.

Apa yang terjadi ?

“Man, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Wiwi gadis cantik berambut panjang lurus terurai menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.

“apa nih, wi?” Tanya Rahman, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.

“Itu amanat dari temen – temen sekelas, Man”. Jawab Dani, “Buka deh” lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda putih menggelembung itu. Logika seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.

“apa ini ?” pekik Rahman. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatandan lembaran benda yang di harapkan. Rupiah..

“ini uang kita, man. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘nggak pernah cerita apa – apa ke kita man, tapi kita tahu semuanya, Man.” Jawab Dani, seraya mendekati Rahman yang duduk tidak jauh darinya.

“iya, man. Hari senin kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya… sayang kalo kamu berhenti di tengah jalan.” Tambah Wiwi.

“hehehe…sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Rian.

Gelombang asa yang tiba – tiba menghantamnya, membuatnya tergagu menghadapi semua rentetan takdir ini. Rahmnan menelan ludah, bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu. Ia menangis, air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang di karuniakan Allah, senyum Bapak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat – sahabatnya sebagai hidangan penutup.

Ya Allah, seporsi do’aku telah kau jawab. Sepotong asa ku telah kau beri jalan. Terima kasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makna lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

-Tamat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun